Axelandra - 4

2.6K 152 68
                                    

“Ah! AHAHAHA! Daddy! Aw! Hihihihi,” suara tawa Reyna terdengar jelas di telingaku. Membuat telingaku panas mendengarnya.

Aku menggoyang – goyangkan kakiku bosan. Sekarang aku tengah duduk di atas salah satu anak tangga yang ada di wahana air di kolam renang besar ini. Tangga yang kududuki ini sebenarnya berfungsi sebagai jalan menuju seluncur.

Banyak anak – anak yang sedari tadi melewati tangga yang kududuki ini. Bila kuhitung, sudah lebih dari 25 anak yang bolak – balik melewati tangga ini. Tapi itu tidak membuatku berminat. Aku benar – benar tidak berminat. Bukannya aku takut, seluncur ini sangat pendek bahkan tidak dibutuhkan nyali yang besar untuk menaiki permainan air ini. Hanya saja aku merasa benar – benar bosan. Di tambah lagi, suara tawa bahagia Reyna yang sedari tadi bercanda dengan Ayah dengan riang dan gembiranya di depan mataku, tanpa mempedulikanku apalagi mengajakku.

Aku menoleh ke arah kananku, dan aku mataku menangkap seseorang!

Aku memicingkan mataku. Sepertinya aku pernah lihat dia... dimana?

Ah! Iya! Kenapa dia bisa ada disini?!

Dia anak lelaki yang tadi pagi aku tabrak di koridor sekolah. Tapi... sepertinya aku pernah melihatnya sebelumnya. Mungkin di sekolah sebelumnya? Tapi tidak. Aku tak pernah melihat dia di sekolah selain tadi pagi. Lalu?

Anak lelaki itu sedikit berlari menuju tempat penyewaan ban pelampung dan papan renang. Dengan rambut yang setengah basah, ia melihat ke arahku.

APA?! Ke arahku?

“Hai!” sapanya sambil tersenyum. Oh, pipiku, memanas. Aku benar – benar malu.

Aku membuka mulutku, bersiap – siap untuk menjawab sapaannya, “Ha —“

“Hai juga!”

Deg. Aku menoleh kebelakang. Reyna telah berdiri di belakangku sambil melambaikan tangan ke arah anak lelaki itu.

“Kau sedang berenang juga?” tanya anak lelaki itu sambil tetap tersenyum. Reyna mengangguk dengan semangat.

Ternyata... sapaan tadi bukan untukku. Tapi untuk... Reyna. Dan untuk kedua kalinya, Aku benar – benar malu. Malu dengan sebab yang berbeda, tentunya, lebih parah. Sangat memalukan.

“Aku ke sana dulu, ya,” kata anak lelaki itu seraya berjalan ke arah tempat peminjaman ban pelampung dan papan renang yang terletak sekitar 3 meter dari tempat ia berpijak sekarang.

“Iya, Devan! Sampai jumpa!” seru Reyna sambil lompat – lompat tak jelas.

Dia? Devan? Anak lelaki itu? Devan?

Sekali lagi, Devan tersenyum ke arah Reyna yang masih melompat – lompat.

Dan, bruk!

“Aw!” Reyna terjatuh.

Aku melirik ke arah Devan yang sudah tak ada lagi di tempat penyewaan itu. Entah dari kapan dia beranjak dari sana.

“DADDY!!!!” pekik Reyna manja. Ayahku segera menghampirinya.

“Kau kenapa, Barbie?” Ayah menggendong Reyna yang masih dalam posisi terjatuh.

Reyna langsung menenggelamkan wajahnya di dekapan Ayah dan menangis di pundak Ayah. Aku bisa menebak itu tangisan palsunya. Ia hanya berpura – pura menangis.

“Rara mendorongku, Daddy!” seru Reyna sambil menunjuk ke arahku.

“Ak —Aku —“

“Rara! Kau keterlaluan! Kau tidak boleh bersikap seperti ini pada Reyna!” bentak Ayah. Aku tertunduk.

AxelandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang