Axelandra - 7

2.3K 152 21
                                    

"Cih! Makanan macam apa ini?!" umpat Jeanny sambil mengelap mulutnya.

"Kau beli makanan ini dimana Rara? Makanan ini sungguh tak enak!" timpal Reyna. Ia menopang dagunya setelah ia meminggirkan piringnya ke ujung meja makan.

"A-- aku beli di-- di sana." jawabku gugup. Entah sejak kapan aku menjadi takut berbicara dengan Reyna dan Jeanny. Mungkin karena hanya ada kami bertiga di rumah ini.

"Disana mana, huh?! Jangan bilang kau membelinya di pinggir jalan?!" bentak Jeanny.

"Bu--bukan, Jeanny." ucapku lirih.

"Makanan menjijikan!" Jeanny mendorong piringnya hingga jatuh ke lantai.

 Aku hanya bisa menundukan kepalaku dalam - dalam sambil mendengar langkah kaki Reyna dan Jeanny menjauhiku. Aku mendengar mereka membuka pintu lalu menutupnya kembali. Aku langsung menuju jendela lalu membuka sedikit celah pada korden pink muda. Mobil Jeanny sedang melaju meninggalkan pekarangan rumah. Entah kemana mereka akan pergi. Mungkin ingin membeli makanan. Siapa suruh menyuruhku untuk membeli makanan padahal mereka bisa membeli sendiri makanan yang jauh lebih enak dan tentu saja sehat dan berkualitas.

Aku berjalan menuju meja makan lalu mengangkat piring ke bak cucian. Lalu aku membersihkan makanan yang ada di lantai. Setelah itu, aku mencuci piring hingga bersih. Ini sudah menjadi kegiatanku akhir - akhir ini. Tentu saja setelah Liza pergi dari rumah ini. Entah sampai kapan aku akan melakukan pekerjaan ini. Aku tidak tahu. Walaupun tugasku hanya membeli makanan dan mencuci piring, namun aku tak mau berlama - lama diperbudak oleh Jeanny dan Reyna. Tidak akan.

Aku berjalan lemas menuju kamarku. Pemadangan pertama yang kulihat setelah membuka pintu kamar adalah Giya, bonekaku, yang ada di pinggir kasurku. Setelah mengunci pintu kamarku dari dalam, aku langsung memeluk Giya erat. Aku benar - benar butuh pelukan. Aku berjongkok dan bersender di pojok tembok. Air mataku membasahi Giya yang lembut. Entah kenapa dadaku terasa sesak.

Terkadang, aku ingin kabur. Aku ingin pergi dari rumah ini. Rumah mewah, besar, megah, tapi penuh dengan kekejaman. Aku ingin lari dari sini dan tak akan kembali lagi. Ingin bebas dari ketidakadilan yang selama ini kurasakan. Aku letih. Aku lelah.

Kadang aku iri melihat anak - anak sebayaku yang disayang oleh kedua orang tuanya. Kadang aku iri pada teman - temanku yang diantar jemput oleh kedua orang tuanya. Lalu sepulang sekolah mereka pergi bertamasya. Atau mungkin pergi ke tempat wisata pada hari libur atau akhir pekan. Kadang aku iri pada teman - temanku yang bercerita bagaimana serunya berlibur bersama keluarga mereka. Kadang aku iri pada teman - temanku yang memamerkan barang yang baru saja dibelikan oleh orang tuanya. Entah itu tas, sepatu dan masih banyak lagi. Entah itu kado ulang tahun, kado ucapan selamat karena mendapatkan juara atau peringkat kelas, atau mungkin hanya sekedar memberi. Itu sangat mengesankan.

Tapi aku? Tak pernah mendapatkan apapun dari Ayah. Setelah perpisahan Ibu dan Ayahku, aku merasa hidupku sepi. Terlebih, setelah aku tinggal dengan Ayah dan tak pernah bertemu dengan Ibu lagi. Aku benar - benar merasa kesepian dan--

"Axelandra! Cepat! Buka pintunya!" suara teriakan seseorang dari balik pintu kamarku membuat aku terlonjak kaget. 

"Cepat! Buka!" seru orang itu lagi. Pintu kamarku diketuknya kasar hingga menimbulkan bunyi yang amat berisik. "Axelandra!!!"

"Si--siapa kau?" tanyaku pelan. Aku tetap duduk dipojok kamar. Tak berubah posisi. Aku takut.

Pertanyaanku membuat seseorang dibalik pintu kamarku itu terdiam. Tak ada lagi suara berisik apapun. Setelah beberapa detik, seseorang itu terbatuk.

"Aku... Devan." jawabnya setengah berbisik.

Aku mencoba berdiri walau rasa bingung menyelimutiku. Aku mencoba meraih gagang pintu kamarku.

AxelandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang