Axelandra - 2

2.9K 160 33
                                    

"Hei!" panggil Reyna saat aku baru saja turun dari lantai atas rumah kami.

"Ya?" jawabku tanpa menoleh padanya.

Reyna sedang menikmati fruit salad yang tadi Ayah bawa sambil menonton kartun kesukaannya.

"Kau tahu tidak, tugas menggambar?" tanyanya.

Aku mengangkat bahuku tak peduli. Aku mengambil remote televisi yang ada di meja lalu mengganti channel tv sesuka hatiku.

"Hei! Kembalikan remotenya!" pekik Reyna sambil berusaha merebut remote itu dari tanganku.

"Sudahlah, lebih baik kau mengerjakan tugas menggambarmu!" seruku.

"Justru aku akan memintamu mengerjakannya dan aku tinggal duduk santai menikmati salad sambil menonton kartun kesukaanku," katanya. Kini remote televisi sudah ada di tangannya. Jari - jarinya yang lentik menari - nari di atas remote itu. Kukunya yang berkuteks itu pun terlihat mengkilap.

Reyna berkuteks? Iya.

Aku saja sampai bingung kenapa dia bisa ikut - ikutan memakai kuteks milik Ibunya. Padahal kami masih duduk di bangku sekolah dasar. Senior kami, bahkan guru pun banyak yang menegur Reyna. Tetapi Reyna terlihat masa bodoh dengan teguran itu.

Untuk anak berumur 8 tahun seperti kami, memang kuku - kuku berwarna - warni seperti kuku Reyna sangat menarik.  Tetapi kami sadar, belum waktunya untuk kami memakai zat pewana kuku  itu. Kami sadar; kecuali Reyna.

"Ambil buku gambarku di atas meja belajarku lalu gambar pemandangan gunung di atas kertas lembar pertamanya!" perintah Reyna.

"Kalau aku... tidak mau?" tanyaku.

"Mudah," Reyna tersenyum kecut. "Aku akan mengatakan pada Daddy bahwa kau merobek buku gambarku dan membuangnya."

"Kau!" seruku.

"Apa?!" seru Reyna tak mau kalah. Ia mempelototiku.

"Itu namanya pemfitnahan! It—" 

"Aku tak peduli!" serunya. Ia tersenyum licik, "Buatkan aku gambar atau aku katakan itu pada Daddy? Terserah kau. Tetapi, pastinya Daddy akan mempercayaiku dan membelaku,"

Aku menghembuskan nafas panjang lalu berjalan lemas menuju lantai atas; menuju kamar Reyna.

*

Aku mengangkat buku gambar Reyna yang ada di atas meja belajarnya.

Huft. Aku sangat tidak suka melihat pemandangan seperti ini. Kamar Reyna benar - benar berantakan. Padahal, kamarnya jauh lebih bagus dan mewah dari kamarku. Kamarnya jauh lebih luas dari kamarku. Kalau aku punya kamar sebagus dan seluas ini, aku akan merawat, merapihkan dan selalu membersihkan kamarku.

Dulunya, kamar Reyna ini adalah kamarku. Tapi ukurannya tidak seluas ini. Kamarku dulu seperempat dari kamar Reyna ini. Sedang, memang. Tapi dulu kamarku lebih luas dari kamarku yang sekarang ini. Dulu aku tidur di kamar ini bersama Ibuku. Ibu memang jarang bahkan tak pernah tidur bersama Ayah. Entah kenapa. Mungkin itu yang membuat Ayah pindah hati ke Jeanny. Aku tak mengerti masalah ini. Aku masih terlalu kecil untuk mengerti.

Sejak Reyna masuk ke dalam kehidupanku, aku tidak tidur di kamar ini lagi. Bahkan bukan di rumah ini. Aku tinggal bersama Ibuku di sebuah rumah sewa kecil yang hanya berukuran kurang lebih seperti kamar Reyna saat ini. 

Namun baru saja kira - kira seminggu ini, aku di rebut paksa oleh Ayahku. Aku di paksa tinggal bersamanya. Aku tak mengerti. Padahal, ayah sudah memiliki Jeanny dan Reyna yang jelas - jelas lebih ia sayangi.

Ah.

Aku menyeka air mataku yang baru saja keluar dari pelupuk mataku. Mengapa aku menangis? Ah sudahlah.

AxelandraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang