1. Penentuan Sekolah

9.3K 566 3
                                    

Minggu, 11 Juni 2017

Malam itu, langit yang membentang luas dipenuhi oleh taburan bintang-bintang. Membuat siapapun yang melihat itu tidak bisa melewatkan sedetik untuk menatap dan mensyukurinya.

(Namakamu), gadis berambut sebahu yang berusia 15 tahun. Ia baru saja mendapat hasil Ujian Nasionalnya beberapa hari yang lalu dan rencananya besok ia akan mendaftar di sekolah impiannya.

Ia menatap langit itu dari jendela kamarnya. Ia mendongak ke atas sembari meneliti satu persatu bintang di atas sana.

"Aku yakin, bintang yang sinarnya paling terang itu pasti papa," gumamnya lalu menarik nafas panjang.

"Aku rindu papa. Restui aku semoga aku bisa masuk di sekolah impianku, ya pa," ucapnya sambil tersenyum dengan mata yang terus menatap indahnya langit saat itu.

Tok tok tok

"Sayang, makan yuk,"

(Namakamu) menengok ke daun pintu dimana suara itu berasal. (Namakamu) pun beranjak dari duduknya dan berjalan menuju daun pintu itu.

"Iya, mama,"

Cklek

"Kamu ngapain sih di dalam? Betah banget gak keluar sejak dari masjid?" tanya wanita dengan usia yang hampir berkepala empat itu sembari merangkul (namakamu) ke ruang makan.

"Biasa ma, hibernasi," jawab (namakamu) disertai cekikikan diakhirnya.

Wanita yang dipanggil mama olehnya tadi menoel hidung anaknya, "Jadi anak mama pengen jadi beruang ya? Hibernasi,"

(Namakamu) tertawa, "Enggak deh ma, (namakamu) masih pengen jadi manusia," jawabnya lalu duduk di kursi yang berhadapan dengan ayahnya.

Ia menengok ke kursi yang berada di sampingnya. Masih kosong. Nampaknya, orang yang selalu menempati kursi itu belum hadir disini.

"Ma, yah, kakak mana?" tanya (namakamu) kepada kedua orang tuanya.

Mamanya tersenyum, "Masih di kamar, katanya bentar lagi nyusul,"

(Namakamu) menganggukkan kepalanya lalu mengangkat tangannya untuk mengambil nasi.

Perhatiannya beralih ke decitan kursi yang baru saja ditarik, kakaknya baru datang. (Namakamu) melempar senyum kearahnya tapi hanya ditanggapi wajah datar oleh kakaknya itu. (Namakamu) menghela nafasnya kemudian melanjutkan kegiatan yang sempat tertunda tadi.

10 menit berlalu, makan malam di keluarga sederhana ini berlangsung hening. Tak ada yang berniat mengeluarkan suaranya saat itu.

Tak lama, Robby -Ayah (namakamu) dan Iqbaal- berdehem sehingga membuat ketiga insan yang berada di meja makan itu menengok ke arahnya.

"Jadi (nam), besok sudah pendaftaran ya?"

(Namakamu) mengangguk lalu tersenyum untuk menjawab pertanyaan ayahnya.

"Kamu jadi di SMA 1?" tanyanya lagi.

"Kalau nilainya memungkinkan sih, yah," jawab (namakamu).

"Hei, nilaimu tertinggi kedua se-kota! Gak mungkin kamu gak diterima di sekolah itu," timpal Karina -mama (namakamu) dan Iqbaal-.

Iqbaal berdecak seraya tersenyum meremehkan, "Halah, gak mungkin dia keterima disana ma. Pasti yang mendaftar disana orang berprestasi semua! Punya banyak penghargaan yang bisa jadi tambahan nilai. Nah dia? Ikut lomba aja selalu kalah," ucap Iqbaal sinis dan mendapat tatapan tajam dari Robby. Sedangkan (namakamu) yang disinggung seperti itu hanya menundukkan kepalanya dan berusaha menahan air matanya.

Sibling RelationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang