10. Penyelamatan

3.8K 447 1
                                    

Gadis yang terbaring di ranjang UKS mulai mengerjapkan matanya perlahan untuk menyesuaikan cahaya yang mulai berlomba masuk ke pupil. Entah berapa lama ia tak sadarkan diri. Sedetik kemudian tangan kanannya terangkat untuk memegang kepala, rasanya ruangan masih seperti bergerak, kepalanya pusing.

"(Namakamu)! Alhamdulillah, lo udah sadar," teriakan antusias dari gadis berambut coklat lainnya membuat (namakamu) menghela napas, selalu seperti itu saat ia baru sadarkan diri.

"Waa! (Nam)! Lo kenapa? Ada yang sakit? Yang mana? Perlu gue panggilin dokter?"

(Namakamu) berusaha tersenyum, "Gak ada Stef, udah ah, gue mau ke kelas lagi," (namakamu) bangkit dari tidurnya, dan tentunya tangan Steffi membantu gadis itu untuk bangun.

(Namakamu) menoleh ke kanan dan ke kiri, ia mengerutkan kening ketika sosok yang ia cari tak berada di sekitarnya, kemana dia?

"Stef?" panggilnya.

Steffi menoleh, "Kenapa? Ada yang sakit? Atau apa? Atau lo mau nyuruh gue omelin kakak OSIS gila itu? Oke, gue bakal lakuin,"

(Namakamu) berdecak, "Bagas mana?"

"Oh.. Bagas." jawabnya membeo.

"Dia denger pengumuman di lapangan. Awalnya dia gak mau, tapi tadi gue jewer. Karena kalau gak ada yang denger pengumuman, kita gak bakal dapat informasi,"

(Namakamu) mengangguk mendengar jawabannya. Ia tersenyum tipis. Rasa syukur kepada Tuhan terus ia panjatkan karena beliau telah memberikan para malaikat tak bersayap ini saat malaikat pelindungnya tak pernah menganggap dia ada.

"Ehm, (nam),"

Gadis bermata bulat itu menoleh, "Kenapa?"

"Lo gak tau penyakit lo?" tanya Steffi hati-hati. Matanya menatap tepat di manik mata beiris cokelat tua itu.

Selalu seperti ini jika (namakamu) pingsan. Steffi dan Bagas selalu menanyakan penyakit yang sedang ia derita. Jujur, dirinya sendiri juga tak tahu apa-apa. Yang ia tahu, ia hanya disuruh untuk tidak melakukan kegiatan berat yang dapat membuatnya kelelahan. Itu kata mama Karina.

"Kalau kalian tau penyakitku, kalian bakalan tetap kayak gini apa enggak?" ucapan tersebut meluncur begitu saja tanpa ia saring terlebih dahulu. (Namakamu) melihat sahabatnya itu tersenyum lalu memegang kedua tangannya.

"Dengar (nam), kita ini sahabat. Sahabat dari kecil. Gue, lo, dan Bagas. Kita gak bakalan ninggalin lo atau apapun pemikiran negatif yang ada di otak lo sekarang. Malahan, kita bakalan selalu nguatin lo dan berusaha melindungi lo. Itu kan gunanya sahabat?" ujarnya. (Namakamu) bisa melihat ketulusan di mata dan senyumnya. Ia pun turut tersenyum mendengarnya.

"Dan satu lagi, bahkan gue sudah anggap lo lebih dari saudara. Gue bakalan ngelakuin apapun buat lo asal lo bahagia, meskipun kita berbeda aliran darah. Tapi, saudara gak selamanya harus berasal dari orang tua yang sama 'kan?" lanjutnya sembari mengeratkan genggaman tangannya.

"Lo dan Bagas itu saudara gue. Jadi, harusnya lo gak nyembunyiin apapun dari kita. Begitupun juga gue dan Bagas,"

Ia mengulum senyum, "Jujur, Stef. Gue juga gak tau penyakit apa ini. Mama pernah bilang kalau aku gak boleh kecapekan. Sudah itu aja,"

Nampaknya jawaban itu tak memuaskan Steffi, "Yaudah, hari ini lo harus ke dokter! Kita gak tau bagaimana kedepannya, kan?"

"Gak Stef. Please gue gak papa. Gue cuma gak bisa kecapekan. Itu aja. Please Stef. Gue gak mau berurusan sama dokter dalam waktu dekat ini," katanya memohon, tentunya ditambah dengan puppy eyes andalannya yang dapat membuat kedua sahabat itu mengalah.

Sibling RelationshipTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang