Prologue

6.7K 559 64
                                    

Jihoon mendorong tidak sabar pintu jati ukir di depannya, ingin segera memasuki ruang seluas lapangan basket di mana appa-nya yang dikabarkan sedang sekarat terbaring lemah.

Saat menerima telepon dari sekretaris appa-nya tadi pagi, jantung pemuda mungil itu berdetak sangat kencang. Rasanya seperti menggedor-gedor di dalam dada.

Setelah pintu jati terkuak, tanpa peduli pada peluh yang bercucuran di wajah juga tubuhnya, pemuda itu melangkah lebar-lebar memasuki ruangan kemudian duduk di samping appa-nya. Sambil menggenggam erat jemari pria paruh baya yang sebagian rambutnya gugur, menyisakan kulit kepala yang mengkilap diterpa cahaya lampu, Jihoon menggigit bibir menahan sesak.

Di seberang Jihoon ada eomma-nya, wanita yang meski sudah tidak muda namun tetap cantik, sedang tersedan. Suara ingus yang dipaksa keluar dari hidung terdengar di sela-sela isakannya. Jihoon mendadak ikutan sedih.

"Appa... Uri Jihonnie sudah datang," kata eomma-nya Jihoon. Segera saja pemuda itu menggeser tubuhnya lebih condong ke wajah appa-nya yang hendak berkata sesuatu setelah membuka mata perlahan dan menatap cukup lama putra semata wayangnya.

Jihoon menelan sedan yang susah payah ditahannya.

Suara appa-nya, ketika menyebutkan namanya, terdengar berat dan tersengal, membuatnya tak tahan lagi untuk tidak menangis.

"Nde, appa... Jihoon di sini...."

Tes!

Setitik embun baru saja jatuh dari ujung mata Jihoon. Tak terbendung lagi.

Jihoon mendadak merasa bersalah.

Dia terlalu sibuk mengurus musiknya hingga melupakan segalanya. Termasuk kesehatan dirinya juga appa-eomma-nya.

Baru-baru ini pemuda yang jago main instrumen musik itu terserang tipus dan harus dirawat selama beberapa hari lantaran keseringan latihan hingga larut demi tampil sempurna di konser dengan grup band yang dibentuknya.

Meski dia lebih sering aktif di belakang panggung sebagai produser yang membuat lagu namun keahliannya olah vokal juga tidak bisa diragukan.

Namun, saat ini, Jihoon mengutuk dirinya sendiri yang sok mengejar mimpi dan mengesampingkan harapan orang tuanya.

"Se-per-ti-nya wak-tu ap-pa ti-dak ba-nyak la-gi...." Susah payah Tuan Lee mengutarakan apa yang ada di kepalanya.

Membuat Jihoon makin deras air matanya, mengangguk-angguk takzim, berusaha mendengar dan tidak melewatkan sepatah kata pun. Bahkan jantungnya yang sempat tenang tadi kembali berdentam lagi.

Masih dengan mata yang menerawang jauh di langit-langit kamar, pria paruh baya itu kembali bersuara, "Ap-pa cu-ma min-ta ka-mu ja-di pe-ne-rus u-sa-ha appa...."

Jihoon menarik ingus yang meler di hidungnya. Mengangguk. "Nde."

"Appa, kajima.... Jebal!" rengek eomma Jihoon. Suara tangisnya juga makin menjadi. Wanita itu meraung-raung hingga suaranya menggema.

Namun, anehnya, tidak membuat make-up di wajahnya luntur. Tetap sama seperti hari-hari biasanya. Padahal, seharusnya, eomma-nya tidak usah dandan karena suaminya jatuh sakit sejak semalam.

Lalu, ke mana para pelayan? Sekretaris appa yang menelponnya tadi pagi? Dokter Kim yang seharusnya stand by mengingat appa-nya yang sedang sekarat dan rekan-rekan lainnya, ke mana mereka?

Kepala Jihoon dipenuhi tanya yang menyelidik.

"Ul-ji-ma, ja-gi, ugh!" Appa Jihoon menarik tangannya yang sebenarnya sedang diinfus memegangi bagian dada. Meremas sesuatu. Jihoon melihat sesuatu yang aneh. Bagaimana bisa tangan diinfus meremas sesuatu tanpa menimbulkan pendarahan di selang infus? Begitu batin Jihoon. Spontan ekor matanya menyusuri selang infus hingga ke pangkal, tepat di bawah kantung berisi cairan. Tak ada sesuatu yang menetes. Itu berarti infusnya tidak berfungsi. Alis Jihoon bertaut. Ekor matanya lagi-lagi menemukan sesuatu yang aneh di nakas dekat eomma-nya; sebotol obat tetes mata. Aissh! Dia berdecak kesal setelah, akhirnya, berhasil menghubungkan segala keganjilan itu.

WORKING!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang