Enam

2.3K 321 38
                                    

Malam semakin larut. Jam digital di nakas dekat tempat tidur sudah menunjukkan angka dua lewat limabelas kini. Namun sepasang mata semi sipit Lee Jihoon belum juga terkatup. Masih melek kayak orang baru bangun. Padahal sudah bolak-balik badan demi mendapatkan posisi ternyaman tapi sama saja, meski seprei di kasur sudah berantakan bahkan ada bantal yang pindah tempat ke lantai, Jihoon tetap belum bisa tidur.

Dia mendengus kasar. Ingatan ketika Soonyoung melumat bibirnya di rest room tadi siang masih terbayang-bayang dalam kepala pemuda bermarga Lee itu. Bukan tentang rasa lembut-manis saat bibir mereka bertemu atau sesuatu lainnya, tapi tentang betapa kesal Jihoon pada Soonyoung yang masih bisa bersikap sedemikian santai seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Padahal itu first kiss Jihoon. Dipaksa pula. Siapa yang tidak kesal?

Sekali lagi, pemuda mungil itu mendengus kasar. Berharap segala sebal dan kesal dalam dadanya ikut terbuang. Nihil. Dia masih kesal. Justru makin menjadi.

Tangan Jihoon baru saja hendak meraih ponselnya untuk menghubungi seseorang ketika ponsel itu tiba-tiba berdering, suara nyaringnya memenuhi kamar Jihoon yang remang-remang karena hanya mengandalkan cahaya dari lampu jalan yang menelusup dari jendela kaca besar berkorden kain tile, pertanda ada sebuah panggilan masuk. Seungcheol-hyung. Begitu yang tertera di layar. Ah, kebetulan! Batin Jihoon.

"Hyung, jemput aku!" seru Jihoon segera, sesaat setelah jempolnya menekan tombol jawab. Orang di seberang terdengar menghela napas. Mungkin pasrah karena kalah cepat bersuara dan harus menelan kembali kalimatnya. Jihoon menutup telepon setelah menyebutkan sebuah alamat untuk dituju kakak sepupunya itu.

Tanpa memperbaiki tempat tidur, Jihoon segera bangkit dan bersiap; melepas dan melempar sembarang baju kerja lantas menggantinya dengan celana jeans belel sebagai bawahan serta kaos oblong hitam dan jumper hoodie biru navy sebagai atasan. Memakai sneaker putih andalannya kemudian meninggalkan kamar usai menyambar tas berisi gitar kesayangan yang bertengger manis di sofa ruang tengah. Tak lupa memakai masker dan kacamata bulatnya juga. Saat suntuk begini, studio adalah tempat terbaik untuk menyibukkan diri.

Sekitar limabelas menit kemudian, sebuah sedan hitam mengkilap berhenti tepat di depan gerbang kost Jihoon. Langsung melaju lagi setelah pemuda mungil itu masuk, membelah jalanan yang semakin sepi tapi tetap semarak oleh lampu jalan.

Choi Seungcheol melirik Jihoon yang duduk memeluk lutut sambil menyandarkan kepalanya ke jendela mobil dari kaca depan mobilnya. Sebentar saja. Karena dia harus kembali fokus ke jalan di depannya. Pemuda tampan berbulu mata lentik dan memiliki lesung pipit saat tersenyum itu tahu ada sesuatu yang mengganggu pikiran sepupunya tapi seperti biasa, cuma bisa menunggu sampai si mungil bicara sendiri. Kalau didesak apalagi dipaksa cerita, gitar melayang adalah jawaban mutlaknya. Ngeri, yakan. Jadi Seungcheol berencana membahas hal lain saja.

"Bagaimana hari pertamamu di tempat magang?" tanya Seungcheol, berusaha memecah keheningan yang seolah membekukan waktu mereka. Jihoon menoleh, keningnya berkerut dalam. Bertanya melalui mata; Bagaimana kau tahu padahal aku tidak pernah cerita. Seungcheol terkekeh, "Tadi ada arisan di rumah dan eomma-mu cerita banyak."

Jihoon memutar bola matanya. Oh, pantas. Batinnya.

"Biasa saja," jawab Jihoon sekenanya setelah terdiam cukup lama. Kemudian kembali menyandarkan kepala di jendela mobil. Pandangannya memang tampak sedang fokus ke luar jendela tapi tidak dengan pikirannya.

Seungcheol kicep, mengangguk takzim. Lantas kembali fokus pada jalanan di depannya sambil sesekali melirik Lee Jihoon.

working!

WORKING!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang