"Apa kau yakin?" Soonyoung, dengan suara rendah nyaris membisik, bertanya pada seorang pemuda mungil yang tengah berdiri menghadap tembok di depannya. Pemuda bermata sipit itu benar-benar gugup saat ini. Tampak jelas dari bulir peluh sebesar biji jagung yang gugur perlahan dari pelipis juga dari debar tak beraturan dalam dadanya. "Ini akan sangat menyakitkan, menurutku. Apalagi benda ini terlihat sangat besar. Tanganku saja sampai gemetar memegangnya. Apa kau--"
"Diamlah. Lakukan saja kataku!" Pemuda mungil di depan Soonyoung menoleh. Wajahnya tampak memerah dan berpeluh juga. Sepertinya dia pun gugup. "Kau terlalu banyak bicara, eoh. Mataku tidak sipit, jadi aku tahu kalau benda di tanganmu itu besar. Kau tidak perlu memperjelasnya sampai begitu."
Hening menjeda sejenak. Soonyoung bungkam mendengar kekasih mungilnya membentak dengan suara tinggi begitu. Jakunnya bergerak teratur.
Baiklah, mungkin dia benar. Soonyoung terlalu banyak bicara sejak tadi. Dia mengutarakan apa pun yang ada di dalam kepalanya. Padahal kekasih mungilnya itu sudah menunggu dan bersiap sejak duapuluh menit yang lalu. Dalam posisi menghadap tembok dan membelakangi dirinya.
Ralat.
Bukan sejak duapuluh menit lalu, tapi sudah sejak di bandara Seoul hingga mendarat di bandara Amerika, negara tujuan mereka.
Harusnya dia langsung melakukan apa yang perlu dilakukannya tanpa banyak kata. Sehingga Jihoon tidak perlu menunggu dengan perasaan waswas begini. Ah, si sipit ini.
"Maafkan aku, Jihoon-ah." Soonyoung mendesis pelan. Mundur selangkah, menjauh dari kekasih mungilnya. Jemarinya meremat erat benda berat dalam genggamannya itu. "Aku sungguh tidak bisa menyakitimu. Lebih baik tidak usah saja," sambungnya ketika Jihoon membalik badan dan bertanya melalui gesture.
Percayalah, Jihoon hampir melempar Soonyoung dengan keranjang sampah yang berdiri tak jauh dari kakinya mendengar kalimat barusan. Terlalu berlebihan. Begitu pikir Jihoon.
"Ck!" Jihoon tanpa sadar langsung berdecak kasar menahan sebal yang seperti hendak menjebol ubun-ubunnya. Dia lantas membalik tubuhnya menghadap Soonyoung yang tampak menunduk dalam. Sepasang bibir plumnya mencebik lucu. "Bukankah tadi aku bilang kalau aku sudah siap? Apa kau... meragukan pernyataanku, hng?"
Gelengan pelan dijadikan Soonyoung sebagai jawaban. Pemuda sipit itu enggan bersuara. Pandangan sepasang mata sipitnya sengaja dijatuhkan ke lantai. Membentur ujung sepatu kets milik Jihoon yang lepas sebelah simpul temalinya. Membuat Jihoon semakin gemas saja.
"Ya! Aku sedang bicara padamu. Tatap mataku, Kwon Pabo!" Jihoon menangkup wajah tirus pemuda Kwon di depannya lantas menuntun pandangannya pada satu garis lurus sehingga mereka bersitatap kini. "Aku sudah siap. Kau hanya perlu melakukannya secara pelan dan hati-hati. Benda itu tidak akan menyakitiku. Percayalah. Aku sudah siap." Kalimat terakhir sengaja diucapkan Jihoon lamat-lamat per suku kata demi menyampaikan betapa dirinya sudah siap saat ini.
Jakun Soonyoung kembali bergerak teratur. Naik dan turun beberapa kali ketika dia menelan saliva beserta segenap kegugupan yang bercokol di kerongkongan.
Sekali lagi pemuda sipit itu mengangguk pelan. "Baiklah kalau begitu maumu," katanya seraya memegangi jemari Jihoon yang masih menangkupi wajahnya, "Aku akan benar-benar melakukannya kali ini. Kau harus bersiap. Karena ini cukup berbahaya, jadi kau jangan pernah memintaku berhenti di tengah jalan, arasseo?"
Kali ini giliran Jihoon yang mengangguk. Dia memasang wajah serius. Langsung membalik badan menghadap tembok dan membelakangi Kwon Soonyoung. Merapal banyak doa dalam hati, semoga semua berjalan kancar sesuai harapan, kemudian memejamkan mata erat-erat. Tak lupa membuka kedua kakinya selebar bahu untuk mempermudah aktivitas kekasihnya di belakang sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
WORKING!!!
Fanfiction[FINE!] - [Soonhoon] - [BXB] Lee Jihoon, si jenius dalam musik, disuruh jadi SPB (Sales Promotion Boy) untuk merebut gelar karyawan terbaik di toko ayahnya yang dipegang oleh seseorang yang memiliki kepribadian berbanding terbalik dengan dirinya. M...