Delapan

2.3K 300 114
                                    

"Permisi, Pak!"

Lee Jihoon menutup kembali pintu ruangan Pak Go setelah berpamitan kemudian berjalan dengan kepala menunduk hendak kembali ke rest room sebelum masuk ke toko. Langkahnya lemah, lesu, lunglai, loyo, dan lemas. Persis seperti orang yang sedang terkena anemia. Sesekali terdengar helaan napas kasar. Ada sedikit perasaan kesal juga pasrah berkecamuk dalam dada pemuda mungil tersebut.

Terutama jika mengingat-ingat kembali percakapannya dengan Pak Go, sang kepala toko, yang baru saja terjadi beberapa menit lalu---dia tadi dipanggil ke ruangan kepala toko karena sudah berani membolos di hari kedua kerja dan baru masuk dua hari kemudian.

'Jika kau tidak serius bekerja, lebih baik menyerah saja. Di luar sana banyak sekali orang yang butuh pekerjaan tapi belum beruntung. Arasseo?'

Kalimat barusan diucapkan Pak Go dengan wajah datar dan nada dingin namun penuh penekanan. Terlintas lagi karena memang kalimat itu menohok tepat dalam kepala Jihoon. Juga paling kena di hati pemuda mungil itu. Sehingga membuatnya seketika tersadar.

Dia tidak bisa selalu mengutamakan ego. Ada kalanya dia harus mengabaikan diri sendiri demi seseorang atau sesuatu yang lebih penting. Kebutuhan di atas keinginan.

Wajah appa dan eomma-nya terlintas. Membuat dadanya berdenyut tak nyaman. Jihoon menghela napas lagi.

Karena jalan sambil menunduk, Jihoon tidak melihat seseorang di depannya yang juga jalan sambil bermain ponsel dan terjadilah tabrakan itu. Jihoon yang bertubuh mungil, berisi, tetapi tetap lebih ringan itu langsung terduduk di lantai. Berbeda dengan lawan tabrakannya yang bertubuh jauh lebih tinggi, berhidung mancung meski tidak seberisi Jihoon. Dia masih berdiri menatap terkejut pada Jihoon.

"O! Mas Angry Bird! Mianhae!" seru pemuda kelebihan zat endorphine itu. Langsung buru-buru membantu Jihoon berdiri. "Aduh, sekali lagi maaf. Tadi lagi cari pookemon jadi tidak lihat ada Mas Angry Bird di sini, ehe!" Dipanggil 'Mas Angry Bird' sampai dua kali membuat wajah Jihoon yang semula meringis menahan kebas di bokong yang mencium lantai marmer berubah masam kayak orang makan buah kesemek.

Bibirnya saja sampai memberengut lucu. Jihoon melepas kasar tangan pemuda yang membantunya berdiri itu. Melirik sinis si hidung lancip yang kembali fokus pada ponselnya.

Jihoon masih menepuk celananya untuk menghilangkan debu ketika pemuda berhidung lancip di depannya tiba-tiba berseru kecewa seperti striker yang gagal mencetak gol padahal berada tepat di depan mulut gawang lawan.

Berdecak sebal karena 'buruan'nya lepas begitu saja. Dalam hati Jihoon sudah merutuk bahkan berkata kasar dan kata-kata itu sebenarnya sudah di ujung lidah, siap untuk diluncurkan, tapi batal.

Seorang pemuda berwajah western muncul di belakang pemuda hidung lancip. Dia memegang ponsel juga. Wajahnya tampak serius dengan atensi berpusat ke ponsel. Posisi yang sama dengan pemuda tadi, dia pun menubruk si hidung lancip dan ponselnya terjun bebas ke lantai marmer. Suaranya menggema di koridor. Hening kemudian. Atensi mereka berpusat pada ponsel malang tersebut. Tentunya dengan pikiran sendiri-sendiri.

"Ya! Apa yang kau lakukan, Lee Seokmin?!" seru pemuda western itu, histeris melihat ponselnya. "Kau sengaja ingin menggagalkan perburuanku, huh? Lihat! Layar ponselku retak!" Sepasang manik hitam Lee Seokmin yang semula terpaku ke ponsel yang dituding telunjuk pemuda western itu kini beralih menatap tidak terima pada pemuda yang menuduhnya.

Seokmin mengerjap. Memasang wajah innocent. "O? Kau yang menabrakku, bukannya minta maaf, malah bentak-bentak. Kau pikir aku tuli, Choi Vernon?!" Setelah terdiam sekian detik, Seokmin ikut menyalak tak kalah berisik. Sepertinya dia tidak terima disemprot begitu saja. Bahkan Jihoon bisa melihat saliva Seokmin yang beterbangan dan mendarat mulus di wajah Choi Vernon.

WORKING!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang