Satu

3.9K 448 44
                                    

"Lee Jihoon imnida."

Seluruh mata, baik karyawan maupun kepala toko dan jajarannya, serentak mengerjap. Bingung sekaligus takjub. Pasalnya pemuda mungil yang baru saja diminta memperkenalkan dirinya terkesan irit kata. Dia hanya menyebut nama lengkap tanpa salam apalagi basa-basi yang menjadi pembuka atau penutup kalimatnya. Belum lagi wajahnya yang datar mirip-mirip kanvas yang belum disentuh pelukisnya; tanpa raut, tanpa ekspresi. Atmosfir toko mendadak hening. Bahkan suara angin yang berembus bisa terdengar jelas.

Pak Go, kepala toko, bertepuk tangan demi memancing yang lain. Serupa efek domino, satu per satu yang ada di situ tepuk tangan sambil senyam-senyum gak jelas.

"Baiklah, ini dia SPB baru kita. Dia bakal memegang kendali atas brand ternama yang ada di toko ini, JH Collection." Pria tiga puluh tahun yang sedikit gemulai itu tersenyum lebar dan meringis ketika senyumnya diabaikan Jihoon. Masih dengan ekspresi yang sama, meringis lantaran senyumnya diabaikan, Pak Go berkata lagi, "Yup, brand ini adalah saingan berat dari brand yang dipegang SPB terbaik toko kita, yang sayang sekali belum datang karena shift siang, jadi kalian jangan kaget nantinya kalau tiba-tiba counter kalian kosong, ya!"

Karyawan lain melenguh, sedikit sebal karena Pak Go terlalu menjunjung tinggi kedua brand itu. Kemarin-kemarin masih mending hanya satu brand yang selalu dipuja-puji. Sialnya, sejak hari ini, bertambah satu lagi.

"Baiklah, sudah cukup perkenalannya. Silakan kembali ke counter masing-masing!" Aba-aba itu membubarkan para karyawan yang langsung menuju ke counter-nya. Beberapa masih melirik sinis ke arah SPB baru. Bisik-bisik mulai berdengung. Separuh bahas tentang betapa angkuh kesan yang ditunjukkan pemuda mungil itu, separuh lain justru terpekik girang lantaran terpesona oleh ketampanan dan keimutannya.

Jihoon sendiri tetap cuek. Hari ini dia memakai setelan kemeja putih lengan pendek dipadukan celana hitam bahan kain dan sehelai dasi merah. Rambut bowl cut coklatnya dibiarkan begitu saja. Tidak seperti saat manggung. Demi penyamaran sekaligus tampil biasa saja.

Sebenarnya dia disuruh datang jam 8 pagi namun seorang Jihoon yang terbiasa mengganti pagi jadi malam dan sebaliknya, bangun jam segitu sama saja membalik brankas dua ton sendirian alias berat! Lihat saja wajahnya yang masih sayu lantaran baru tidur jam 4 dini hari. Jadi dia baru bisa datang jam 11 ini. Datangnya sendiri. Tidak diantar appa-eomma apalagi supir pribadi. Jihoon benar-benar sedang dianaktirikan.

'Appa terpaksa menarik semua fasilitas yang ada selama kamu belajar, Nak. Tenang, tidak lama, hanya satu bulan saja!'

Kalimat appa Jihoon yang dilontarkan tempo hari terlintas kembali. Membuatnya yang sedang berdiri di counter-nya meremas kesal pakaian yang berjejer rapi di gantungan. Sedangkan gerahamnya bergemeletuk.

'Appa tidak bermaksud jahat apalagi menghukummu. Ini demi masa depanmu juga. Berjuanglah! Rebut gelar karyawan terbaik itu, Jihoon-ah!'

Eomma Jihoon ikut nimbrung. Bikin Jihoon makin panas. Bibirnya komat-kamit, merapal rutuk. Sesal dan kesal seperti sedang beradu dalam kepalanya; sesal karena telah menyetujui permintaan orang tuanya dan kesal karena tidak menyangka bakal dianaktirikan.

Tak puas meremas baju-baju di counter, pemuda mungil itu beralih menggebrak meja. Kontan menarik perhatian seluruh penghuni toko bahkan customer. Aktifitas mereka bahkan seolah ter-pause demi melihat ke arah datangnya suara mengejutkan tadi.

"Aissh, menyebalkan!" desis Jihoon, tanpa menyadari perhatian seisi toko kini tertuju padanya. Masih dengan raut wajah kesal yang tadi, pemuda duapuluh tahunan itu kembali berujar penuh tekanan di tiap kata, "Hanya aku yang bisa mengalahkan diriku sendiri. Tidak ada yang lain, termasuk karyawan sialan itu!"

WORKING!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang