Duapuluh Tri

1.7K 257 13
                                    

"Limabelas menit lagi. Apakah semua sudah siap?" Seungkwan bertanya usai mengabsen satu per satu member-nya yang tengah sibuk di depan meja rias. "Astaga, ke mana perginya Jihoonie? Bukankah tadi dia sedang bersamamu?" Pemuda gemulai itu langsung panik begitu menyadari satu member-nya tidak terlihat bersama yang lain.

Dia langsung melimpahkan kekesalan pada seorang penata rias yang seharusnya merias Jihoon dan dianggapnya tidak profesional. Sepasang mata belo pemuda gemulai yang malam ini tampil gemerlap dengan setelan jas penuh taburan glitter menatap tajam, seperti hendak menembus sepasang manik kecoklatan penata rias tersebut.

Seungkwan hampir menjambak perempuan cantik itu kalau saja Wonwoo yang duduk tepat di sebelahnya dan sedang dipakaikan eye shadow tidak segera menjawab, "Dia sudah selesai dirias. Aku melihatnya berjalan keluar sana." Dengan ujung dagu yang menunjuk ke bagian luar ruangan tanpa membuka mata karena penata rias kini tengah mengoleskan cairan eye liner untuk menambah kesan tegas pada mata pemuda bersuara rendah itu.

Tanpa ba-bi-bu lagi, manajer grup boyband SEVENTEEN itu pun langsung melesat pergi meninggalkan ruang rias. Membiarkan daun pintu berdebam cukup keras di belakang. Sekaligus mengabaikan penata rias yang masih gemetar ketakutan dan sedang dihibur oleh Minghao dan juga Jisoo.

Working!

Bulan sepotong di ufuk barat seolah tersenyum memperhatikan kegelisahan yang tampak di wajah Lee Jihoon. Pemuda mungil itu sudah berjalan bolak-balik bak setrikaan di bagian belakang stadion besar yang menjadi lokasi konser perdana grup band-nya seraya menatap layar ponselnya yang menghitam seperti itu sejak setengah jam yang lalu---dia tadi sengaja minta dirias duluan dan segera keluar ruangan dengan langkah lebar-lebar dan ponsel yang tergenggam erat di tangan.

"Astaga. Aku kenapa?" Jihoon menahan langkah, bertanya pada ponselnya, lantas berdecak sebal kemudian. Merasa bodoh karena telah bicara sendiri, pemuda mungil itu kemudian menekan tombol power pada ponselnya.

Ada semburat merah samar di wajah Jihoon ketika layar ponselnya menyala, tampilan tab chat yang berisi pesan pendek dari sebuah nomer baru kembali muncul. Hanya ada sebaris kalimat berisi limabelas kata.

Itu pesan dari Kwon Soonyoung.

Pesan tersebut memberitahukan kalau karyawan terbaik toko ayahnya itu sudah berada di barisan paling depan bersama SPB satu shift lainnya dan kepala toko mereka serta ditutup dengan kalimat penyemangat pada tab chat selanjutnya.

Itulah yang membuat Jihoon uring-uringan begini. Dia mendadak gugup. Merutuk dalam hati kebaikan orang tuanya membelikan tiket konser pada SPB yang telah membantunya selama magang di toko ayahnya termasuk Pak Go.

Padahal, biasanya, dia akan tenang-tenang saja karena sudah terbiasa dengan penonton yang membludak. Namun, kali ini berbeda. Di antara lautan Carat, sebutan untuk fans SEVENTEEN, ada Kwon Soonyoung. Pemuda sipit yang belakangan memenuhi hati dan pikiran Jihoon.

Satu-satunya orang yang membuat seorang Lee Jihoon kehilangan ketenangannya karena berdebar tak keruan sekaligus sosok yang selama ini dianggapnya sebagai saingan. Sayang, Jihoon harus mengakui kalau dia kalah telak kali ini.

Meskipun di awal-awal Jihoon sempat mengelak dan berusaha menyangkal semuanya, pada akhirnya, pemuda sipit itu berhasil memenangkan segalanya; posisi karyawan terbaik di toko sekaligus hati seorang Lee Jihoon. Karena satu bulan bukanlah waktu yang cukup untuk merebut predikat terbaik dari pemuda sipit itu. Namun, kebersamaan dan pertemuan-pertemuan intens sudah cukup untuk menumbuhkan benih-benih merah muda di antara keduanya.

Jihoon tidak ingat pasti sejak kapan semua itu berubah, akan tetapi yang jelas, sekarang Jihoon merasakan jantung dan lututnya bergetar hebat hanya karena menyebut nama Kwon Soonyoung dalam kepala. Otaknya seperti berhenti bekerja lantaran senyuman khas pemuda sipit itu terlintas. Bahkan dia sempat melupakan beberapa lirik yang bakal dinyanyikannya ketika pemanasan tadi karena wajah sang karyawan terbaik sempat bermain-main dalam ingatannya.

"Ternyata kau di sini," ujar Seungkwan, tiba-tiba, membuat Jihoon terkejut hingga terlonjak halus dan nyaris terjungkal kalau saja tidak refleks memegang uluran lengan dari sang manajer. "Ops! Sorry, Babe." Seungkwan segera menangkupkan telapak tangan di depan wajah begitu mendapat lirikan sinis khas dari main vocal-nya itu seraya terkekeh garing sejenak. "What are you doing here? Alone?" tanyanya, begitu Jihoon melupakan kekesalannya yang tadi. Kemudian iseng melirik ponsel yang dipegang Jihoon.

Paham dengan keingintahuan sang manajer yang selalu di luar ambang batas kewajaran, Jihoon buru-buru menekan tombol power di sisi ponsel hingga layarnya kembali menghitam sebelum spontan menyembunyikan benda kesayangan tersebut ke belakang punggung. "A—aku sedang pemanasan. Di dalam terlalu berisik. Aku kesulitan berkonsentrasi."

Alih-alih melanjutkan aksi panik yang ditunjukkannya pada penata rias di ruang ganti tadi, Seungkwan merangkul Jihoon erat-erat lantas berbisik, "Dia tampan sekali. Ya, Tuhan! Aku langsung terpesona melihat mata sipitnya!" Kemudian heboh sendiri---sesekali memekik tertahan demi melampiaskan perasaan gemasnya pada sosok pemuda bermata sipit yang sempat ditemuinya di koridor depan tadi. Tak lupa Seungkwan mengecup puncak kepala Jihoon sebagai tanda kebanggaan karena akhirnya sosok paling kaku dalam timnya merasakan indahnya perasaan merah jambu.

Sepasang mata semi sipit Jihoon kontan membelalak kaget. Merasa sebal sekaligus tidak terima. Spontan menepis dua ibu jari tangan Seungkwan yang teracung sambil digoyang-goyangkan tepat di depan wajahnya. "Ya! Apa yang sedang kaubicarakan, huh? Aku sama sekali tidak paham!"

"Kau pasti tahu maksudnya." Seungcheol muncul tiba-tiba di belakang keduanya. Jihoon dan Seungkwan spontan berbalik bersamaan. "Sejak tadi kuperhatikan kau hanya bolak-balik sambil terus memegangi ponsel. Wajahmu juga gelisah sekali. Bahkan cahaya remang-remang di sini tidak bisa menyembunyikan rona merah di wajahmu, Jihoonie."

Percayalah, digoda sedemikian rupa, Jihoon berharap ada keajaiban yang bisa membuatnya menghilang saat ini juga. Karena menimpuk mereka dengan gitar pun tidak mungkin. Selain karena di sekitar situ tidak ada gitar, Jihoon juga sudah tidak berkutik. Dia mati kutu. Persis pencuri yang ketahuan mencuri. Apalagi jika mengingat pernyataan Seungcheol tempo hari, Jihoon merasakan tidak enak.

Lima menit kemudian, Wonwoo dengan wajah datarnya berseru-seru mengingatkan konser mereka sudah dimulai. Kedua orang tadi terlalu asik menggoda hingga lupa waktu. Sorak-sorai para Carat sudah memenuhi Seoul Olympic Stadium begitu layar besar di sisi panggung mulai menampilkan wajah-wajah para member SEVENTEEN didukung backsound yang menggelegar langsung menyadarkan mereka. Lantas bergegas hendak memasuki bagian utama, bersiap-siap menampilkan yang terbaik.

"Jika kau merasa lebih nyaman bersamanya, aku rela mengalah. Akan tetapi, jika dia membuatmu bersedih, aku bersumpah akan merebutmu kembali darinya." Seungcheol membisikkan kalimat tersebut setelah sebelumnya mencekal lengan Jihoon yang hendak memasuki area belakang panggung. Usai berkata demikian, pemuda berlesung pipi itu langsung berlari menuju panggung untuk menampilkan lagu solo sebagai pembuka konser perdana SEVENTEEN malam itu.

Working!























































(dz_101018)

WORKING!!!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang