Tingkepan

744 42 0
                                    

Author pov.

Hari ini keluarga Abbas berkumpul mengadakan acara walimatul hamli untuk Azura. Kandungan Azura sudah 4 bulan dimana disaat itulah Allah meniupkan ruh pada sang janin.
Acara walimatul hamli ini hanya di hadiri keluarga besar Abbas dan juga keluarga Sabrina tentunya. Walaupun acara ini sederhana tetapi ke sakralannya tetap terasa. Acara ini di pandu langsung oleh Abizar selaku ayah mertua Azura. Tak lupa Amir dan Amar bergantian membacakan surat yusuf dan Maryam untuk Azura.

Tiba giliran Amir membacakan surat Maryam untuk istri dan calon anaknya. Entah kenapa tiba-tiba jantung pria itu bergetar hebat. Ada rasa gelisah,haru,takut,sedih, dan malu yang bercampur menjadi satu saat dia memandang lurus ke arah kitab suci Al-Quran. Setiap ayat-ayat yang keluar dari bibir Amir membuat hatinya semakin nyilu. Bahkan air mata itu lolos dari pelupuk matanya tepat setelah surat maryam selesai ku bacakan.

"Kau baik-baik saja bang?" Tanya Amir.

Amir hanya menjawab dengan anggukan kepala.Karena lidahnya begitu kelu untuk mengeluarkan suara.

Acara tingkepan ini selesai setelah Abizar membacakan doa-doa untuk calon cucunya dan juga menantunya. Setelah acara selesai semua orang masih sibuk bercengkrama satu sama lain. Menikmati waktu kebersamaan mereka yang tak datang dua kali. Di karenakan kesibukan mereka masing-masing yang sangat menyita waktu sehingga jarang ada waktu berkumpul bersama keluarga besar seperti sekarang ini.

Disisi lain ada seorang pria duduk di taman kecil rumah itu. Pria itu termenung sendiri. Matanya menatap lurus riak air yang di ciptakan oleh ikan-ikan peliharaannya. Pria itu adalah Amir, kepala keluarga di rumah ini. Tangan kekarnya masih setia memenangkan debaran jantungnya yang menggila. Namun, tak ada rasa sakit di sana. Yang ada hanya rasa lega, bahagia dan haru. Hati kecilnya seakan menyukai debaran itu. Namun logikanya meraung bingung.

"Rupanya kau disini, aku mencarimu dari tadi Mas" Ucap Azura.

Wanita itu berjalan menghampiri suaminya yang duduk di bangku taman. Azura tersenyum simpul. Entahlah kenapa dia selalu tersenyum jika melihat wajah suaminya.

"Aku tau apa yang sedang kau pikirkan mas" Ucap Azura dalam hatinya.

Wanita itu memilih bertelepati dengan suaminya. Agar tak ada yang tau isi percakapan mereka.

Amir menatap mata teduh Azura seraya tersenyum. Tangannya mengelus puncak kepala istrinya yang tertutup hijab syar'i. "Apa kau tau kalau mas sedang bingung?" Balas Amir dalam hatinya.

"Aku tau mas dalam keadaan gelisah saat membacakan surat Maryam untuk kami. Mas bingung kan kenapa jantung mas berdetak sangat keras hingga rasanya ingin copot dari sarangnya?"

Amir mengangguk mengiyakan.
"Itu hidayah mas dari Allah,
Allah memanggil mas untuk kembali mengingat-Nya yang sudah lama mas lupakan. Azura tak ingin memaksa mas untuk kembali mengingat Allah. Karna mas sudah bukan anak kecil yang harus di tuntun untuk melakukan ini dan itu. Mas sudah dewasa, mas bisa memilih mana yang baik dan buruk. Sebagai seorang istri, Azura hanya bisa mengingatkan mas. Semua keputusan ada di tangan mas" Ucap Azura tegas namun tetap dengan suara lembut yang meneduhkan hati.

"Mas terlalu kotor untuk kembali ke jalan-Nya. Mas sudah banyak berdosa. Mas bahkan tak pantas di sebut manusia. Mas seperti iblis. Mas banyak nyakitin hati orang. Bahkan tangan ini sangat gampang membunuh orang. Kau tau sayang tahun lalu,mas bahkan tega membunuh sahabat mas sendiri. Karna mereka menghianati mas. Dan mas juga membunuh orang yang pernah Amar sayangi. Apakah mas masih pantas untuk di maafkan?"

Tak terasa Air mata Amir menetes membasahi pipinya. Dengan lembut Azura menghapus air mata itu. Dia rengkuh suaminya dalam dekapan hangatnya. Amir memeluk istrinya erat dan menangis di dada istrinya dalam diam. Sedangkan Azura hanya bisa mengelus punggung suaminya pelan. Dia membiarkan suaminya menumpahkan segala bebannya.

"Menangislah mas,biarkan bebanmu berkurang sedikit. Walaupun Azura tau, menangis tidak akan bisa merubah keadaan. Yang perlu mas lakukan sekarang adalah bertaubat pada Allah, mohon ampun karna sesungguhnya allah itu maha pengampunan untuk hamba-hambanya yang benar-benar bertaubat kepada-Nya"

Amir pov.

Di sinilah aku sekarang, di sepertiga malam aku bersujud, bersimpuh memohon pintu taubat kepada-Nya. Sudah berapa lama aku meninggal shalat? Sudah berapa lama aku tidak mengadu padamu di sepertiga malam terakhir? Sudah berapa lama aku tidak membaca Al-Quran yang dulu jadi temanku sepanjang waktu?Sudah berapa banyak mulut ini menyakiti hati orang? Sudah berapa banyak tangan ini membuat nyawa orang yang melayang? Sudah berapa banyak minuman keras ku minum? Seberapa banyak....??

Terlalu banyak..
Bahkan aku sudah lupa saking banyaknya dosa yang aku lakukan. Aku bahkan tak peduli nasib keluarga orang yang telah aku bunuh dengan tanganku atau dengan pelantara anak buahku. Aku selalu menghalalkan banyak cara agar aku bisa mendapatkan apa yang aku inginkan. Mataku terlalu buta untuk melihat kenyataan yang memilukan. Aku terlalu silau harta, haus kedudukan dan kehormatan.

Mungkin semua orang akan bertanya padaku kemana ayat-ayat dan hadis-hadis yang aku pelajari sejak kecil di pesantren? Hilang kemana semua pemahaman yang Abi dan Umi tanamkan kepadaku untuk selalu bersikap tawaddu'?

Orang-orang pasti akan mencemoohku dan menghinaku jika tau siapa diriku sebenarnya. Bagaimana mungkin anak seorang ulama besar pemilik pesantren yang terkenal alim memiliki anak yang kelakuannya melebihi setan? Begitu buas dan kejam dari hewan? Bukankah anak seoranng ulama harus alim seperti orang tuanya? Bukankah setiap hari yang di perdengarkan adalah lantunan ayat suci al Quran kenapa kelakuannya begitu berbanding terbalik dengan latar belakang keluarganya yang religius?

Aku tidak tau,bagaimana caranya menjawab semua pertanyaan itu.Semuanya berlalu begitu cepat. Aku terlalu terlena dengan duniawi hingga aku lupa cahaya Allah. Aku selalu mengabaikan debaran ketika kumandang adzan memanggilku. Aku hanya manusia biasa. Tempat salah dan khilaf. Aku mungkin tak bisa merubah keadaan yang telah terjadi. Aku hanya bisa meminta maaf dan ampun kepadanya. Berharap ampunan atas dosa dosaku. Karna selagi jantung ini masih berdetak, aku tak akan bosan untuk meminta ampun.

♥♥♥♥♥♥

To be continue.



My Devil BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang