Satu tahun kemudian

826 43 0
                                    

Tes.

Tetesan bening itu turun begitu saja membasahi tanah yang kering kerontang karna sapuan kemarau panjang. Aroma khas tanah yang basah memenuhi rongga setiap orang yang berlalu lalang dengan kereta besinya maupun yang berteduh di ruko-ruko yang berjejer sepanjang jalan.

Tangan itu menengadah menampung air yang jatuh. Senyuman kecil terbit di bibir wanita berkhimar biru, bermata coklat eksotis.

Ada kebahagiaan tersendiri saat air bening itu jatuh dan tergenang di telapak tangannya. Sensasi dingin yang menenangkan.

"Tuh kan, harusnya aku tidak mengikuti kemauanmu Ura, bukankah suamimu menyuruhmu menggunakan mobil. Kan enak kita gak perlu basah-basahan menunggu hujan. Huh menyebalkan!" Gerutu Sabrina, adik iparnya.

"Tidak boleh menggerutu seperti itu Bina, hujan itu rahmat. Ini bukan kemauanku, tapi kemauan keponakanmu ini" Ucap Azura sambil mengelus perutnya yang mulai membuncit.

"Ah kau ini selalu saja membuatku tak berdaya karna keponakanku"

Azura hanya membalas ucapan Sabrina dengan senyum tipis. Azura menatap air di telapak tangannya. Hal ini yang sering ia lakukan dulu selain hujan-hujanan saat masih kecil dimana disaat itu ayah angkatnya masih hidup.

Flasback on.

Gadis kecil berumur 7 tahun berjongkok dengan wajah cemberut di sebuah ruko kecil bersama dengan ayahnya. Gadis kecil itu memakai seragam merah putih, rambut di kepang dua dan tak lupa sebuah tas bergambar kartun kesayangannya, doraemon. Yang selalu setia ia bawa kemanapun.

"Dedeknya ayah kenapa kok mukanya cemberut gitu? Kenapa cerita sama ayah. Apa di sekolah dedek di jahatin temen?" Tanya Kafka Reynerd pada putri kecilnya.

"Ayahnya dedek, dedek lagi sebel. Kenapa sih harus turun hujan? Kan adek mau ke taman bareng ayah" Gerutu Azura lengkap dengan bibir yang maju lima senti dari posisi normal.

"Hush, kok dedek jadi nyalahin hujan? Ga boleh gitu"

Kafka menarik pelan telapak tangan putrinya hingga berada di bawah kucuran air hujan. Tetesan demi tetesan air hujan itu berkumpul menjadi genangan air di tangan mungil Azura.

"Dedek tau gak, air hujan yang dedek salahin itu adalah rahmat dari Allah"

Azura kecil menggelengkan kepalanya pelan. " Dedek rasain air yang jatuh di telapak tangan dedek. Coba ayah tanya gimana rasanya?"

"Dingin yah"

"Hujan itu adalah rahmat Allah, dedek harus bersyukur. Allah menurunkan hujan agar bumi yang kita pijak tidak kering kerontang karna terik matahari dan biar manusia tidak kekurangan air. Hayo coba bayangin gimana kalau air ga ada? Dedek nanti ga bisa mandi, ga bisa minum"

"Tapi kan dedek mandinya bukan air hujan ayah. Dedek mandinya dari air di bak mandi"

"Air di bak mandi itu berasal dari mana?"

"Dari air kran yang ada di pipa rumah kan yah? Dedek bener kan?"

Kafka mengelus kepala putrinya lembut. "Iya dedek bener, tapi apa dedek tau air yang berasal dari pipa rumah kita itu juga dari air hujan yang di serap kedalam tanah?"

"Jadi secara tidak langsung dedek juga mandi dari air hujan kan yah?"

"Betul sekali, dedek pinter. Jadi mulai sekarang dedek gak boleh sebel sama hujan. Dedek harus bersyukur dan berdoa yang baik-baik pada Allah semoga hujan yang Allah turunkan bisa bermanfaat"

"Iya mulai sekarang dedek gak akan benci lagi sama hujan. Kan kalau hujan  terus-terus lama-lama jadi banjir. Nanti rumah kita kebanjiran kan? Terus kalau di rumah banjir, banyak air dedek bisa berenang sepuasnya. Yeeeee horeee"

Azura melompat lompat karna bahagia. Ia berharap rumahnya kebanjiran dan bisa berenang sesuka hatinya. Kafka hanya bisa mengelus dadanya pelan.

"Kau terlalu polos nak, ya sudahlah memang tak mudah menjelaskan sesuatu pada anak kecil. Sabar Kafka putrimu akan mengerti sendiri kalau dia beranjak dewasa. Untuk sekarang iya-in aja deh biar cepet" Batin Kafka

Sejak saat itu Azura selalu menantikan hujan turun bahkan berdoa kepada Allah agar segera di datangkan banjir.

Flasback of.

Azura pov.

Aku hanya bisa tersenyum tipis saat mengingat doa-doaku saat turun hujan. Pantas saja ibu selalu menjewer telingaku dulu saat ia tak sengaja mendengar doaku setiap hujan turun. Benar-benar anak polos bukan?

Ah Ayah, aku benar-benar merindukanmu. Seandainya kau masih hidup. Mungkin saat ini kau akan menjadi kakek dan bisa bahagia bermain dengan cucumu. Walaupun aku bukan anak kandunganmu. Ibu, bagaimana kabarmu sekarang? Dimana ibu sekarang? Apa masih di rumah itu? Dedek kangen ibu. Tapi dedek takut ibu ngusir dedek lagi kayak dulu.

"Hei, kok malah senyam senyum sendiri? Hei saha mane? Keluar dari badan Azura. Sok keluar akang, teteh. Kasian kaka iparku jangan di gangguin atuh" Ucapnya sambil memegang dahiku. Mulutnya berkomat kamit melafalkan ayat kursi dan ayat-ayat yang biasa di gunakan untuk meruqyah jin.

Pletak

"Awww sakit begok. Main tabok aja, tambah lebar situ mau tanggung jawab?"

"Lagian kamu sendiri yang mulai duluan. Emang aku kesurupan apa? Pakek acara ruqyah segala? Kenapa gak sekalian tahlilan aja di sini? Gak malu tuh di liatin orang"

"Iya-iya maaf aku kan cuman khawatir sama kamu Ra"

"Iya in aja deh biar cepet. Hayuk cepet hujannya udah reda. Pulang yuk nanti orang rumah nyariin lagi. Kasian Khana di rumah cuman bareng umi doang. Kita kan cuman pamit ke pengajian nanti malah di sangka habis dugem"

"Dugem kepalamu pitak. Ada gitu dugem siang-siang bolong gini? Iya-iya bentar ini juga mau jalan. Bentar dulu aku mau pakek helm nih. Di pakek juga tuh nanti kalau kamu menapa-napa bisa di sate akunya sama Bang Amir"

"Yuk bang jalan"

"Loe pikir gue ojek? Gue bukan ojek ya mbak. Cuman mirip aja kok"

"Udah cepet, keburu hujan lagi nanti"

"Iya-iya cerewet, aduh yang gila ngalah aja deh biar cepet"

Begini nih, punya adik ipar somplak. Rada gila tapi ngangenin hehehe

♥♥♥♥

To be continue.

My Devil BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang