Bukk..
Feno terjaga dari tidurnya karna sebuah bantal yang mendarat diwajahnya. Matanya perlahan terbuka ditengah gelapnya kamar yang ia tempati. Dengan sesekali mengerjapkan matanya, Feno melihat siapa yang sudah melemparkan bantal padanya. Setelahnya, ia kembali memejamkan matanya. Menggerakkan kepalanya untuk mendapatkan posisinya yang nyaman.
"Kok bisa masuk?" tanya Feno dengan mata yang terpejam.
"Kamu lupa mengunci pintunya." jawab Daren lalu naik ke atas ranjang.
Feno mengangkat kepalanya dan memandang ke pintu. Lalu menempelkan lagi kepalanya pada bantal. Mungkin memang lupa mengunci pintu tadi. Ia sudah sangat mengantuk.
"Terus kenapa kamu kesini?" tanya Feno.
"Faren tidur sama ibu. Dan, aku nggak kebagian tempat. Jadi, aku mau tidur disini." jawab Daren sembari bersiap-siap merebahkan dirinya.
"Nggak boleh!" larang Feno.
"Bodo!" jawab Daren yang tak memperdulikan larangan Feno.
Daren menarik selimut berwarna putih bersih itu hingga menutup kaki sampai lehernya. Matanya memandang langit-langit kamar. Entahlah, ia belum bisa memejamkan mata. Ada sesuatu yang masih ia pikirkan. Perlahan, kepala Daren menoleh ke kanan, dimana Feno berada. Feno tidur miring dengan posisi membelakanginya.
"Fen, apa kamu sedang jatuh cinta?" tanya Daren.
Feno menghela nafas panjang. Kenapa temannya itu malah mengajaknya mengobrol. Ini sudah larut malam, waktunya beristirahat.
"Entahlah." jawab Feno sekenanya.
"Orys. Kalian terlihat dekat. Kamu suka dia?" tanya Daren memperjelas perkataannya.
"Hmm.." jawab Feno singkat. Walau hanya terdengar seperti gumaman.
Daren mengalihkan pandangannya dan kembali menatap langit-langit kamar. Ternyata memang benar, Feno menyukai Orys. Senyum Daren terkembang, walau tipis.
"Kenapa kamu nggak tembak dia?" tanya Daren lagi.
"Ren, aku ngantuk. Besok lagi kita ngobrolnya." jawab Feno.
"Ah, ok." ucap Daren pelan.
Daren mengubah posisi tidurnya, memunggungi Feno. Tangannya ia jadikan bantal. Pandangan matanya kosong. Otaknya terus bekerja dan bekerja. Membuatnya jadi sulit untuk memejamkan matanya.
***
Pantai kembali dipenuhi orang-orang begitu matahari terbit. Bahkan, meski matahari sekarang berada tepat di atas kepala, tak mengurangi semangat para pengunjung untuk bermain-main di Pantai. Tak peduli sekalipun kulit akan berubah warna.
"Huaaa..." Daren melepas kacamata hitam yang ia pakai begitu melihat rombongan wanita-wanita sexy memakai bikini lewat. Tentu saja itu bukan orang Indonesia. Daren benar-benar bisa menikmati indahnya kulit putih mulus wanita-wanita itu. Kaki jenjangnya, postur tubuhnya. Ah, rasanya jadi semakin bersemangat.
Orys tengah sibuk memakai pelampung bersama tiga teman wanitanya. Kali ini, geng Feno itu sepakat untuk naik banana boot. Setelah selesai memakainya, ia mendekat untuk bergabung dengan yang lain.
"Karna cuma muat 5 orang, jadi kita bagi 2 ya. Yang satu, 4 orang. Satunya 3 orang. Ok?" ucap Indah memberi usulan.
"Ok!" jawab ketiganya kompak.
"Terus, Daren, Feno sama Gian kemana?" tanya Indah.
"Eh, iya, ya. Kok nggak muncul-muncul." sahut Orys yang baru menyadarinya. Seingatnya, tadi Feno berjalan di belakangnya. Tapi, kenapa sekarang tidak ada?
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Days
Teen Fiction#19 General, 01/08/2018 'Dia.... tertawa.' batin Orys. Sungguh, Orys tak menyangka Feno bisa tertawa. Tidak-tidak, semua manusia memang bisa tertawa. Tapi, untuk ukuran orang seperti Feno, rasanya itu sangat sedikit sulit. Tapi, hari ini, ia melihat...