Rafly berkutik dengan obat-obatan yang ia bawa. Dilihatnya dengan seksama obat demi obat itu. Hingga menyisihkan 3 bungkus obat yang akan ia berikan pada Feno. Tentu saja dengan mempertimbangkan kondisi dan juga dosis Feno. Dibukanya bungkusan obat itu, masing-masing ia ambil satu butir dan diletakkan pada piring kecil. Setelahnya, Rafly kini beralih ke ranjang Feno. Ia bangunkan Feno yang tertidur dengan lelapnya.
"Minum obatnya dulu, supaya panasmu turun." ucap Rafly pelan.
Dengan wajah yang pucat dan badan yang terasa sangat lemas, Feno mencoba untuk bangkit dari tidurnya. Ia mendudukan dirinya, lalu ia sandarkan punggungnya pada dinding. Menuruti saja apa yang sepupunya itu perintahkan. Ia sedang tak mau berdebat. Apalagi dengan keadaannya yang seperti ini.
"Tidurlah lagi!" pinta Rafly yang dijawab anggukan oleh Feno.
Feno kembali membaringkan tubuhnya, dibantu Rafly menarik selimut yang tertimpa kakinya. Ia juga merasakan tangan Rafly kembali menyentuh dahinya. Masih panas, obatnya memang belum bereaksi.
"Jangan pikirkan apapun dulu. Kalau butuh sesuatu, aku dikamar sebelah." ujar Rafly yang kembali dijawab dengan anggukan kepala.
Rafly beralih menatap butiran-butiran obat di atas meja. Kedua tangannya mengepal . "Ini nggak akan bisa banyak membantu." lirihnya dengan raut wajah sedih.
***
Sejak subuh tadi, Rafly sudah berkutik dengan laptopnya. Pandangannya tak sedikit pun lepas dari layar laptop. Wajahnya juga terlihat serius. Sesekali tangannya bergerak di atas keyboard. Menekan tombol-tombol yang ada disana. Sesekali juga, tangannya mengusap-usap dagunya, seperti tengah berpikir sesuatu yang berat.
Feno terlihat membaik pagi ini. Ia baru saja selesai mandi. Berjalan seraya mengeringkan rambutnya dengan handuk. Langkah kakinya terhenti saat matanya menangkap sosok sang sepupu diam tanpa suara di sofa. Ia memutuskan untuk mendekat dan ikut membaca apa yang sepupunya itu baca. Raut wajah Feno langsung berubah masam.
"Pulanglah! Aku sudah baik-baik aja." ucap Feno tanpa ekspresi.
Rafly tersentak kaget. Sangking fokusnya ia pada layar laptop, sampai tak menyadari kehadiran Feno disisinya.
"Aku juga sudah mau berangkat kerja." ucap Feno lagi, lalu melangkah masuk kedalam kamarnya.
Rafly menghela nafas panjang. Pria yang 4 tahun lebih muda darinya itu , ternyata sangat keras kepala. Sekali pun ia melarang, itu tak akan ada gunanya. Itu juga yang membuatnya semakin khawatir dengan kondisi kesehatan Feno.
***
Pagi-pagi sekali Feno sudah menghadap atasannya. Membicarakan banyak hal, termasuk laporan pemasukan selama beberapa bulan terakhir. Sebagai Kepala Bagian Pemasaran, memang Feno yang bertanggung jawab akan itu. Tumpuan setiap perusahaan memanglah pada bagian pemasaran. Jika bagian pemasaran bekerja dengan hasil yang memuaskan, maka perusahaan akan berkembang dengan pesat.
"Saya mau kamu mengevaluasinya. Jika dirasa ada yang perlu dipecat, pecat saja. Dan jika dua bulan ke depan terus turun pemasukannya, kamu akan saya mutasi ke kota lain." jelas sang atasan dengan tegas.
"Baik, Pak." ucap Feno lalu pamit mengundurkan diri. Ia berjalan keluar seraya membaca laporan hasil pendapatan selama 4 bulan terakhir yang memang setiap bulannya jadi menurun.
Feno menarik mundur kursinya, membaca dengan seksama setiap tulisan dihadapannya. Dilihatnya pendapatan setiap orang yang berada di bagian Pemasaran. Cukup lama Feno berdiam diri dengan mata yang terus tertuju pada tumpukan kertas itu. Memahami masalah penyebab turunnya pendapatan. Setelah hampir satu jam, Feno menutup map berwarna biru tua itu. Pandangannya ia arahkan ke Indah yang terlihat sibuk dengan tumpukan kertas juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Days
Novela Juvenil#19 General, 01/08/2018 'Dia.... tertawa.' batin Orys. Sungguh, Orys tak menyangka Feno bisa tertawa. Tidak-tidak, semua manusia memang bisa tertawa. Tapi, untuk ukuran orang seperti Feno, rasanya itu sangat sedikit sulit. Tapi, hari ini, ia melihat...