BAB 18 : Trauma

93 14 9
                                    

Feno melepas helmnya dengan kasar dan melemparkannya kesembarang arah.

"Feno, aku pikir kamu nggak pulang." ucap Rafly yang sudah sejak tadi berada dirumah Feno. Kebetulan, malam ini Rafly tidak ada sip jaga di rumah sakit.

Feno menghentikan langkahnya, dilihatnya sang sepupu yang sedang mengeluarkan beberapa obat dari dalam plastik. Dengan cepat, Feno menghampiri sang sepupu dan merebut paksa obat itu lalu membantingnya dengan kuat. Setelahnya, ia injak-injak obat itu dengan penuh amarah.

"Feno, apa yang kamu lakukan?" marah Rafly.

"Aku bilang berhenti memperlakukanku seperti ini!" bentak Feno. Terlihat sekali dari matanya, amarah yang begitu menguasai diri Feno saat ini. Otot dilehernya juga tercetak dengan jelas.

"Berapa kali aku bilang? AKU TIDAK SAKIT!" teriak Feno. "Kamu lihat, 'kan? Aku baik-baik saja. Apa kamu buta? APA KAMU BUTA? Berhenti menganggapku gila! Kamu memang dokter, tapi bukan berarti kamu bisa dengan seenaknya mengatakan bahwa seseorang sakit."

"Feno, aku nggak menganggapmu gila. Dengarkan aku..."

"Lalu apa?" tanya Feno memotong perkataan sepupunya. "Kamu mengatakan aku berhalusinasi, apa yang aku lihat itu tidak nyata. Aku bicara sendiri. Kamu mengatakan semua itu, 'kan? Itu sama saja menganggapku gila."

"Karna memang anak kecil yang selalu menjadi temanmu itu TIDAK ADA FENO!" tegas Rafly. "Itu hanya ciptaan imajinasimu." sambungnya.

"Dia ada! Dengarkan itu baik-baik. Dia selalu menjadi temanku bicara. Dia ada! DIA ADA!" teriak Feno penuh penekanan.

"Feno..."

Buk... Feno memberikan sebuah pukulan pada pipi Rafly dengan kuat. Berhasil membuat Rafly kesakitan karnanya.

"Aku nggak mau mendengarmu bicara lagi." ucap Feno lalu berjalan masuk ke dalam kamarnya dan menutup pintunya dengan kasar.

Rafly memegangi pipinya yang terasa sangatlah sakit. Matanya kini menuju arah yang tadi ditunjuk Feno saat membahas anak 15 tahun yang selama ini selalu ditemui Feno.

Feno mengepalkan tangannya dengan kuat, lalu memukul tembok kamarnya dengan kuat hingga tangannya luka.

#flashback

Feno melepas infus yang menancap pada tangannya dengan kasar. Keningnya sedikit mengkerut karna rasa sakit saat jarum infus pada tangannya terlepas.

"Feno, apa yang kamu lakukan, nak?" tanya ibu Feno panik. Ia yang baru saja masuk bergegas menghampiri Feno.

"Bu, aku bilang aku nggak mau ke rumah sakit! Kenapa ibu tetap membawaku ke rumah sakit?"

"Tapi, kamu harus tetap dirumah sakit. Ini demi kebaikanmu."

"Aku mau pergi, bu. Aku mau pergi dengan teman-teman. Aku mau merayakan tahun baru bersama teman-teman."

"Nggak, Feno!" larang Ibu.

"Ibu, aku bukan anak kecil. Setiap hari harus minum vitamin. Berapa kali aku katakan, aku nggak sakit. Untuk apa aku dirawat? Itu hanya akan membuang-buang waktuku."

"Ibu sudah menjelaskan alasannya bukan?"

"Apa? Ibu menganggapku gila? Ibu tega. Menganggap anaknya sendiri gila. Kalau aku gila, aku tidak mungkin bisa bekerja, bu. Aku pasti sedang ada di pinggir jalan dengan pakaian compang-camping."

"Feno, dengarkan ibu!"

"Ibu juga harus dengarkan aku!" ucap Feno dengan nada tinggi. "Aku lelah, bu. Aku lelah mengatakan kalau aku tidak sakit. Aku lelah terus berdebat dengan ibu. Aku lelah selalu ibu anggap gila. Bahkan ibu tega memberi obat bius di minumanku hanya untuk membawaku ke rumah sakit. Aku lelah, bu!" ucapnya lalu berjalan dengan cepat keluar rumah sakit. Masih dengan baju pasien yang menyelimuti tubuhnya. Feno terus melangkahkan kakinya dengan cepat hingga berada ditepian jalan. Menyebrang begitu saja tanpa mendengarkan panggilan ibunya yang terus berusaha mengejarnya.

Our DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang