Sejak hari itu, dimana Orys menyatakan perasaannya. Dan juga menyatakan keinginannya untuk memiliki Feno. Tak ada lagi pembicaraan yang berarti antara Orys dan Feno. Hanya sekedar sapaan dan obrolan ringan. Terasa seperti menjauh satu sama lain.
Bukan ini yang Orys mau. Hanya tinggal tiga minggu lagi dirinya ada di kantor ini. Setelahnya, ia akan kembali ke kampus. Dan mungkin, kesempatannya untuk bertemu dengan orang-orang kantor, terutama Feno semakin kecil. Ia akan sibuk dengan skripsi dan juga kelulusannya.
"Loh, Orys, belum pulang?" tanya Aira yang baru saja keluar dari kantor. Aira melihat jam yang melingkar ditangannya. 19.57 WIB. Hari ini, para karyawan memang pulang larut karna ada rapat akhir bulan. Tapi, Orys sudah diizinkan pulang sejak pukul 17.00 WIB tadi.
"Aku, menunggu kak Feno." jawab Orys dengan senyuman.
"Ah, ok." ucap Aira yang sudah paham. "Duluan, ya!" sambungnya lalu memakai helmnya. Bersiap mengendarai motornya.
Tak lama setelah itu, didengarnya suara orang mengobrol. Suara Feno dan juga Daren, samar-samar ia mendengar suara Gian juga. Orys mengarahkan pandangannya ke dalam kantor. Benar, tiga orang itu memang sedang berjalan sembari mengobrol. Tapi, langkah kaki tiga orang itu terhenti begitu melihatnya. Pandangan mata tiga orang itu juga tertuju padanya.
"Fen, aku duluan, ya!" pamit Daren, lalu menepuk kecil pundak Feno dan berjalan cepat meninggalkan Feno.
"Aku juga!" sahut Gian yang langsung menyusul Daren.
Daren dan Gian melemparkan senyum pada Orys saat lewat dihadapan Orys. Orys membalas senyuman itu. Lalu, pandangannya kembali tertuju pada sosok pria yang kini berjalan menghampirinya.
"Belum pulang?" tanya Feno terdengar datar.
Orys menggelengkan kepalanya, "Aku menunggumu!" jawabnya.
Feno berjalan dihadapan Orys, lalu mendudukan dirinya dibangku teras kantor. Tepat didekat Orys yang saat ini berdiri seraya menatapnya. Feno menyentuh dasinya, ditariknya dasinya hingga terlepas. Setelahnya, ia juga membuka kancing baju paling atas untuk memberikan akses udara masuk. Tubuhnya terasa panas setelah rapat yang cukup menegangkan tadi.
"Apa, Mbak Dini benar-benar melarangmu menemui Ajil?" tanya Orys dengan hati-hati.
Feno menganggukkan kepalanya sebagai jawaban. Tangannya sibuk menggulung dasi yang tadi ia lepas. "Dia serius dengan kata-katanya. Ini juga salahku, sudah membuatnya sakit hati."
Orys menundukkan kepalanya. Tangannya meremas-remas ujung baju yang ia kenakan. Ia benar-benar menyesal sudah pernah mengatakan hal seperti itu pada Dini. Harusnya, ia memikirkan akibatnya.
Mata Orys terbuka lebar saat merasakan tangannya disentuh. Bola matanya beralih menatap tangannya yang disentuh, bahkan sekarang tangan itu masuk ke sela diantara dua tangannya yang menggenggam kain. Tangan itu menggenggam tangan kirinya dengan lembut. Dirasakan juga, punggung tangannya diusap lembut dengan ibu jari. Orys memberanikan diri untuk menatap pemilik tangan itu.
"Duduklah, apa kamu mau berdiri terus?" tanya Feno menatap dua manik hitam Orys.
Orys merasa dirinya seperti sedang dikendalikan. Karna, tanpa menunggu lama, ia langsung mendudukkan dirinya. Menuruti perintah Feno barusan.
"Semalam, kamu mengirimiku pesan, kamu bilang aku mulai menjauh. Jadi, sekarang katakan, apa yang harus aku lakukan supaya kamu merasa aku kembali dekat denganmu?" tanya Feno.
Orys mendongakkan kepalanya, menatap wajah Feno yang menatapnya lembut. Tatapan mata yang terasa hangat. "Aku pikir, kamu marah." lirihnya.
Feno menghela nafas panjang, detik berikutnya ia menggelengkan kepalanya, lalu secercah senyuman terkembang di wajah tampannya. "Untuk apa aku marah? Apa itu bisa membuat Ajil kembali dekat denganku?" tanya Feno.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Days
Teen Fiction#19 General, 01/08/2018 'Dia.... tertawa.' batin Orys. Sungguh, Orys tak menyangka Feno bisa tertawa. Tidak-tidak, semua manusia memang bisa tertawa. Tapi, untuk ukuran orang seperti Feno, rasanya itu sangat sedikit sulit. Tapi, hari ini, ia melihat...