Pagi kembali datang. Segala aktifitas yang tertunda pun kembali dilanjutkan. Orang-orang berlalu kesana kemari, mencari kesibukan masing-masing. Sementara itu, Orys baru saja terbangun dari tidurnya. Tidak, ia sama sekali tidak kesiangan. Karna ini baru saja pukul 05.23.
"Rys, ayo!" seru Aira yang seraya mengikat rambutnya ke belakang.
"Kemana?" tanya Orys masih dengan wajah mengantuknya.
"Ke Pantai lah. Kita lihat sunrise." jawab Aira yang terlihat sibuk mempersiapkan diri. "Feno juga pasti ikut, kok." sambungnya.
"Memangnya kenapa kalau Feno ikut." Orys berucap dengan sedikit kesal. Jika mengingat semalam, rasanya sangat kesal. Baiklah, ia sadar bukan siapa-siapa. Dan tak seharusnya marah dan sebagainya.
"Ayo!" seru Aira lagi. Kini ia membuka pintu kamar penginapan. Sudah tak sabar untuk bisa melihat sunrise di Pantai Kute.
Orys menghela nafas pelan. Diraihnya ikat rambut yang ada dimeja lalu mengikat rambutnya ke belakang. Bercermin sejenak, melihat wajah bangun tidurnya. Jelek sekali, pikirnya. Orys beranjak ke kamar mandi sejenak. Mencuci wajahnya supaya terlihat segar. Setidaknya wajahnya basah walau ia belum mandi. Toh, nanti di Pantai juga pasti akan terkena air, 'kan? Orys buru-buru menyusul Aira yang sudah lebih dulu berangkat. Mengajaknya, tapi malah berangkat lebih dulu. Huh!
☆☆☆
Ramai, itu yang pertama kali Orys lihat begitu tiba di Pantai. Padahal masih pagi, tapi sudah banyak sekali orang yang ada disana. Tentu saja ramai, namanya juga pantai. Astaga, Orys, bodoh sekali dirimu. Orys merutuki kebodohannya sendiri. Dilangkahkan kakinya menghampiri gerombolannya. Ia juga tak mau melewatkan pemandangan terbitnya matahari. Karna, ini pertama kalinya ia datang ke Bali.
Feno menyadari kedatangan Orys. Kepalanya menoleh ke sisi kanan, ditatapnya wajah samping Orys. Ia menunggunya, jawaban atas pesannya semalam. Kenapa, Orys tak mendekat padanya dan memberikan jawabannya. Diam-diam, Feno mengeluarkan ponselnya dari dalam saku. Dihubunginya nomor Orys, tapi sayang, nomor Orys tak bisa dihubungi.
"Telepon siapa, sih, Fen?" tanya Daren yang samar-samar mendengar suara operator.
Feno menggelengkan kepalanya. Kembali ia masukkan ponselnya ke dalam saku. Mungkin, Orys tidak peduli dengannya, makanya pesannya di abaikan. Tapi, benarkah Orys mengabaikannya?
"Om!"
Seruan itu cukup mengejutkan Feno yang sedari tadi melamun dengan arah pandang tertuju pada Orys. Feno melihat kebawah lalu mengembangkan senyuman hangatnya. Tangannya dengan gemas mengacak rambut anak berusia 6 tahun itu. Nazriel memgulurkan kedua tangannya, tanda minta digendong. Dengan senang hati Feno meraih tubuh kecil Nazriel. Menggendongnya seperti biasa. Kedekatan keduanya benar-benar seperti ayah dan anak. Yang baru melihat, mungkin akan mengira seperti itu.
Waktu yang ditunggu-tunggu pun tiba. Matahari mulai menampakkan dirinya. Cahaya oranye di ufuk timur mulai terlihat. Para pengunjung yang sudah menantikan itu sejak tadi mulai berlomba-lomba mengabadikan momen itu. Menggunakan kesempatan itu untuk berfoto ria. Sebagai kenang-kenangan dan juga bukti bahwa pernah datang ke tempat ini. Para Karyawan Antara Group pun tak mau kalah. Sibuk memgambil gambar matahari yang perlahan semakin memunculkan dirinya. Juga, sibuk selfie ataupun wefie.
Indah, itu kesan pertama Orys ketika melihat sunrise. Senyumnya terkembang sangat lebar. Ia sangat menikmati pemandangan itu. Udara pagi hari yang sangat menyejukkan dan menenangkan itu juga sangat mendukung. Rasanya, sangat rugi kalau tidak mengabadikan momen ini. Orys merogoh sakunya untuk mengambil ponselnya. Tunggu, kok tidak ada? Kemana ponselnya? Orys meraba semua saku yang ada dibaju, juga celananya. Tapi, ponselnya tak kunjung ia temukan. Astaga, Orys baru ingat, ponselnya ada di bawah bantal yang ia gunakan untuk tidur semalam. Ia lupa membawanya tadi karna terlalu buru-buru. Ia mendengus kesal, karna kelalaiannya, jadi tak bisa mengabadikan momen ini.

KAMU SEDANG MEMBACA
Our Days
Dla nastolatków#19 General, 01/08/2018 'Dia.... tertawa.' batin Orys. Sungguh, Orys tak menyangka Feno bisa tertawa. Tidak-tidak, semua manusia memang bisa tertawa. Tapi, untuk ukuran orang seperti Feno, rasanya itu sangat sedikit sulit. Tapi, hari ini, ia melihat...