Bab 15 : Tak semua bisa dimiliki

129 18 4
                                    

Tak lama setelah itu, terlihat dari dinding kaca kantor Orys mulai memasuki area kantor. Hari ini Orys memang sudah izin berangkat lebih siang dari biasanya. Karna ada urusan di kampus yang harus ia selesaikan. Itu semua demi nilainya agar keluar. Menjadi mahasiswa tahun akhir memang melelahkan. Banyak hal yang harus dikerjakan. Belum lagi jika harus berurusan dengan skripsi.

Daren mendorong-dorong tubuh Feno supaya beranjak dari duduknya. Dengan sedikit rasa gugup, Feno beranjak dari duduknya lalu berjalan menghampiri Orys yang baru saja masuk ke dalam kantor. Tanpa menunggu berlama-lama, Feno langsung mengulurkan tangan. Memberikan bucket bunga itu pada Orys.

Orys terkejut melihat Feno yang tiba-tiba mengulurkan bucket bunga padanya. Dilihatnya sejenak bucket bunga itu, lalu kembali menatap pemilik bucket bunga itu. Bisa dilihat dengan jelas kegugupan di wajah pria dengan senyuman menawan itu. Lebih gugup dibanding biasanya. Mungkin, bisa dibilang ini pertama kalinya melihat Feno gugup.

"Happy Valentine." ucap Feno.

"Eh? Untukku?" tanya Orys menunjuk dirinya sendiri. Feno menganggukan kepala mantap. Menandakan pria itu memberi jawaban iya atas pertanyaanya.

"Terimakasih." ujar Orys seraya menerima bucket bunga itu.

"Eghem... eghem...."
"Cuit cuit."

Deheman dan siulan yang terdengar membuat Feno semakin gugup. Ia tak tau harus mengatakan apa. Jantungnya serasa dipompa lebih cepat dibanding biasanya. Keringat dingin juga mulai menjalar ditubuhnya. Feno menarik nafas perlahan, menghilangkan kegugupan yang melanda.

"Aku harap, kamu menyukai bunganya dan tetap menyimpannya. Walau, bukan aku yang beli bunga itu..."

"Nggak usah di omongin juga kali. Astaga. Aku cium juga nih lama-lama." kesal Daren. Tapi, kalimat yang diucapkan Daren itu malah membuat yang lain tertawa.

"Serius ya, greget sama kamu. Bilang aja itu bunga kamu yang beli. Toh dia nggak tau." omel Daren.

"Ya, kan jujur lebih baik, Ren." jawab Feno.

"Ya, tapi, nggak begitu juga. Uuhh... gemes deh. Golok mana golok!" kesal Daren yang semakin membuat ruangan itu jadi riuh karna suara tawa. Bahkan Orys juga ikut tertawa.

"Jadi, yang beli siapa?" tanya Orys sedikit berbisik. Feno mendekatkan wajahnya ke telinga Orys, kemudian berbisik, "Yang lagi ngomel."
Detik berikutnya keduanya tertawa meski sedikit ditahan.

"Terus kelanjutannya?" tanya Indah.

"Tanya aja, tuh sama Feno." Daren menjawab pertanyaan Indah dan menunjuk Feno dengan dagu.

"Ee... aku nggak tau harus ngomong apa. Aku bukan orang yang romantis yang bisa merangkai kata-kata manis, tapi gombal kaya Daren."

"Resek nih, anak!" emosi Daren serasa disulut. Sedari tadi ia dibuat kesal.

Feno menahan tawanya melihat ekspresi muram Daren. Kembali ia tatap Orys yang memeluk bucket  bunga darinya. "Bunga itu, mewakili perasaanku padamu." sambungnya menatap kedua manik hitam di bola mata Orys.

Orys menganggukkan kepala mengerti. Ia tak mau melanjutkan pembicaraan ini. Bukan apa-apa, Feno terlihat semakin gugup. Rasanya kasihan membiarkan Feno tetap seperti itu. Mungkin, jika hanya bicara berdua nanti, rasa gugup Feno akan sedikit menghilang. Orys merogoh sakunya, mengambil sapu tangan pink, lalu memberikannya pada Feno. Dilihatnya banyak keringat di dahi Feno. Menunjukkan bahwa Feno benar-benar gugup.

***

Suara air di westafel terdengar jelas hingga luar toilet. Seseorang yang menunggu di luar toilet terlihat memasang wajah serius. Ada satu hal yang ingin ia bicarakan untuk memastikan apa yang ia rasakan itu benar. Tidak ada 2 menit, pintu toilet sudah terbuka dan menampakkan sosok Daren dengan wajah dan rambut depan yang basah.

Our DaysTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang