Daren melampiaskan kekesalannya dengan menarik gas pada stang motornya kuat-kuat, membuat laju motornya sangat cepat. Daun-daun di tepi jalan yang ia lewati langsung beterbangan. Beruntung, tak banyak kendaraan dijalanan. Jadi, tak terlalu berbahaya untuknya mengendarai motor dengan laju yang sangat cepat.
Daren sedikit menunduk saat tiba-tiba mesin motornya mati dan semakin lama laju motornya semakin pelan hingga benar-benar berhenti. Ditatapnya bingung motornya yang mendadak mati itu. Apa karna ia yang terlalu kencang menarik gasnya. Dimatikannya mesin motornya dan ia hidupkan lagi, tidak bisa. Matanya tertuju ke jarum bahan bakar yang ada dihadapannya. E, menunjukkan bahan bakar motornya habis.
"Sial!" umpat Daren seraya memukul tanki bensin motor gedenya. Dilepas helmnya dan berdiam diri sejenak. Beruntung motornya berhenti tepat dibawah pohon rindang. Setidaknya, ia tidak kepanasan.
Daren menoleh kesana kemari, mencari keberadaan penjual bahan bakar motor. Sepertinya disekitar situ tidak ada penjual bahan bakar eceran. Artinya? Tentu saja harus menuntun motornya sampai menemukan penjual bahan bakar. Daren terus saja mengumpat walau tak terdengar jelas. Kenapa motornya juga ikut membuatnya kesal.
***
Orys kembali sendirian di ruangannya. Aira dan teman-temannya sudah pulang sejak satu jam yang lalu. Dan, sejak pamit untuk menjemput Feno, Daren belum juga kembali ke rumah sakit. Itu membuatnya semakin gelisah. Daren juga tak memberinya kabar apapun.
Gadis cantik itu menoleh ke sisi kiri, melihat ponselnya yang tergeletak diatas meja dekat ranjang. Tangannya terulur untuk meraih ponselnya. Setelah ponsel itu ada dalam genggamannnya, dicarinya nama Feno dalam daftar kontak. Belum sempat ditekannya tombol panggil, suara pintu terbuka membuat pandangannya seketika beralih.
"Mas Daren," ucapnya tersenyum lega.
Daren membalas senyuman yang dilemparkan Orys padanya. Kakinya semakin membawanya mendekat ke Orys. Sampai benar-benar berada didekat Orys.
"Yang lain udah pulang?" tanya Daren.
Orys menganggukan kepalanya sebagai jawaban. "Feno, bagaimana keadannya?" tanyanya.
"Dia nggak enak badan, makanya belum bisa kesini." jawab Daren tanpa disertai senyuman.
"Tapi, dia baik-baik aja, 'kan?" tanya Orys lagi. Matanya menatap Daren, meminta jawaban pasti.
Daren mengangguk pelan. "Kamu nggak perlu mengkhawatirkannya." ucapnya lembut. "Kamu udah makan?"
Gadis yang diberi pertanyaan itu melirik jam pada dinding ruangannya dirawat, baru pukul 17.45.
"Belum waktunya makan malam." jawabnya.
"Jangan sampai telat makan. Supaya kamu cepat sembuh dan kembali ke kantor." ucap Daren seraya meletakkan tangannya di atas kepala Orys.
Orys mengangguk mantap. "Aku juga ingin cepat kembali ke kantor. Minggu depan, dosenku menjemputku untuk kembali ke Kampus." ucap Orys tak bersemangat. Rasanya, waktu tiga bulan itu berlalu begitu cepat.
"Masih minggu depan, 'kan? Masih lama." ujar Daren menanggapi.
"Tapi...."
"Disyukuri." sahut Daren memotong perkataan Orys. "Ya sudah, jaga dirimu baik-baik. Maaf, aku nggak bisa menginap." sambungnya.
Orys hanya menganggukan kepalanya mengerti. Tak mungkin memaksa Daren untuk tetap menemaninya disini. Bisa ia lihat dengan jelas wajah lelah Daren.
"Kalau ada apa-apa, langsung hubungi aku, paham?"
Orys menempelkan tangannya pada dahinya seperti memberi hormat. "Siap, Bos!" ucapnya diakhiri tawa.
Daren kembali mengembangkan senyumnya sebelum melangkahkan kakinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Days
Teen Fiction#19 General, 01/08/2018 'Dia.... tertawa.' batin Orys. Sungguh, Orys tak menyangka Feno bisa tertawa. Tidak-tidak, semua manusia memang bisa tertawa. Tapi, untuk ukuran orang seperti Feno, rasanya itu sangat sedikit sulit. Tapi, hari ini, ia melihat...