Bunyi dari senar gitar yang dipetik terdengar mengalun dengan indah. Kata demi kata yang diucapkan dengan nada dan tempo yang tepat terdengar merdu ditelinga. Ditambah suasana pantai malam hari yang begitu menenangkan.
Daren kembali dengan membawa sebuah box. Mendudukinya lalu memukulinya, seirama dengan alunan gitar yang dimainkan Gian. Feno? Sepertinya diantara tiga pria itu hanya Feno yang tak bisa bermain alat musik. Tapi, suara Feno tak bisa dibilang jelek.
Feno & gengnya itu terus melantunkan lagu demi lagu. Menikmati malam yang indah di Pantai Kute. Membuat momen yang akan terus teringat hingga tua nanti. Tingkah konyol saat bernyanyi, juga suara yang terkadang dibuat-buat, benar-benar membuat suasana menjadi sangat meriah. Meski hanya bertujuh, tapi rasanya sangat ramai. Sesekali mereka berhenti bernyanyi, untuk menikmati jagung yang dibakar di api unggun yang mereka buat tadi.
Karena terlalu asik dengan keseruan yang ada. Tanpa disadari malam semakin larut. Bahkan hampir tengah malam. Daren berdiri dan mengangkat box yang tadi ia duduki. "Udahan, yuk!" serunya.
"Kenapa? Masih seru tahu." ujar Zara dengan menyandarkan kepalanya di pundak Aira.
"Feno udah ngantuk, kasian." ucap Daren menatap Feno.
Semua mata kini tertuju pada Feno. Menjadi pusat perhatian teman-temannya, Feno jadi salah tingkah. Bibirnya mengembangkan senyuman lembut. Itu sudah menandakan bahwa apa yang dikatakan Daren itu benar. Daren memang mengenal baik Feno. Jadi, ia sudah paham dengan Feno. Ia hampir selalu tahu tentang Feno bahkan sebelum Feno mengatakannya. Walau belum tentu selalu benar, tapi setidaknya mendekati.
"Beresin dulu, baru pergi." sahut Indah.
"Hoaaam!! Udah ngantuk, nih. Takutnya ntar pas jalan tiba-tiba tidur kalau nggak buruan ke kamar." ucap Gian mencari alasan supaya tak ikut membereskan sampah-sampah yang ia dan gengnya buat.
Gian terpaku saat ketiga gadis didekatnya itu menatapnya dengan tatapan yang mengerikan. Seperti para vampire yang haus akan darah. "Oke, ayo kita bersihkan." Gian berucap pelan.
Seketika Feno tertawa, bersamaan dengan Orys. Menyadari itu, keduanya saling menatap satu sama lain. Tersenyum malu-malu lalu mengalihkan pandangan masing-masing secara bersamaan pula. Orys bergegas membereskan benda-benda yang ada disekitarnya. Memasukkannya kedalam kantong plastik besar yang sudah disiapkan.
Orys kembali menatap Feno, hanya wajah samping Feno yang terlihat olehnya. Diam-diam, tangannya merogoh sakunya dan mengeluarkan ponselnya. Membuka aplikasi kamera lalu mengarahkan ke Feno. Ia fokuskan hanya pada wajah Feno.
"Feno!" panggil Daren.
Mulut Orys sedikit terbuka. Ia menekan tombol pada layar ponsel bersamaan dengan panggilan Daren. Dan hasilnya, bukan hanya wajah samping Feno yang tertangkap kameranya. Melainkan keseluruhan wajah Feno. Dengan buru-buru ia masukkan ponselnya sebelum sang target menyadari. Jantungnya juga tiba-tiba jadi berdentam lebih cepat.
"Kenapa?" tanya Feno.
"Ah, nggak!" jawab Daren dengan cengiran jail.
"Ck!" decak Feno lalu kembali menghadap Gian yang mengajak bicara tadi.
Mata Orys kini memandang Daren. Dilihatnya Daren tersenyum lebar dan mengacungkan kedua jempolnya. Jangan bilang Daren sengaja memanggil Feno supaya ia bisa mengambil gambar wajah Feno secara keseluruhan. Jadi, Daren memyadarinya? Ya Tuhan, itu memalukan sekali.
♡♡♡
"Uuaa.. Faren!" seru Daren heboh. Bahkan ia menjatuhkan box yang ia bawa dan dengan cepat menghampiri seseorang yang ia maksud.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Days
Novela Juvenil#19 General, 01/08/2018 'Dia.... tertawa.' batin Orys. Sungguh, Orys tak menyangka Feno bisa tertawa. Tidak-tidak, semua manusia memang bisa tertawa. Tapi, untuk ukuran orang seperti Feno, rasanya itu sangat sedikit sulit. Tapi, hari ini, ia melihat...