"Berhenti atau aku akan memaksamu berhenti!"
Seperti terhipnotis, kedua kaki Feno seketika berhenti melangkah. Meski tetap dengan posisi memunggungi Orys yang juga memunggunginya.
"Awalnya, aku ingin terus berjuang. Tapi, melihatmu yang seperti ini, aku pikir aku akan berhenti." Orys mengambil jeda beberapa detik. "Apa seperti ini caramu menyelesaikan masalah? Apa kamu selalu seperti ini? Mencoba lari, menghindar. Apa dengan begitu, semua akan berakhir?" Orys berucap pelan. Matanya mulai terasa memanas dan sedikit memerah. Siap menjatuhkan bulir-bulir air mata yang sudah terbentuk sempurna di matanya.
"Kamu menjauhiku karna rasa bersalahmu. Karna aku yang tertabrak saat berusaha mengejarmu..."
"Stop!" sentak Feno yang langsung menghentikan perkataan Orys.
"Kenapa? Kenapa kamu menyuruhku berhenti? Mengingat itu semua, apa itu menyakitkan untukmu?"
Feno berbalik dan menggenggam lengan Orys cukup kuat.
"Aku bilang, STOP!" tegas Feno.Orys mengarahkan pandangannya menatap Feno. Menatap mata Feno lurus. "Kalau aku tidak mau, bagaimana?"
Tak ada jawaban apapun yang diberikan Feno. Hanya, genggaman tangannya pada lengan Orys perlahan mengendur.
"Ibumu, apa kamu pikir dia senang melihatmu seperti ini? Terpuruk dalam ketakutanmu. Kamu orang yang paling lemah, Feno! Kamu tidak lebih dari seorang pengecut." ucap Orys penuh penekanan pada kata 'pengecut'.
Feno tersentak mendengar Orys mengatakannya pengecut. Matanya memandang Orys tak percaya. Mulutnya sedikit terbuka.
"Sampai kapan kamu akan terus seperti ini? Sampai kapan, Feno?" Tes... Air mata Orys sudah tak bisa tertahan lagi. "Apa kamu mau terus hidup dengan dihantui rasa bersalah? Ok, rasa bersalah itu wajar. Tapi, rasa bersalah pada dirimu itu terlalu berlebihan. Kalau kamu terus seperti ini, kamu tidak akan pernah bisa menikmati kebahagiaan hidup." sambungnya.
"Kamu orang yang beruntung, Feno. Kamu punya teman yang menyayangimu. Apa kamu akan meninggalkan mereka hanya karnaku?" tanya Orys dengan lembut. "Kamu tidak perlu repot-repot mengajukan mutasi. Karna, hanya dalam hitungan hari, aku sudah meninggalkan tempat ini. Dengan begitu, kamu tidak akan melihatku dan merasa bersalah lagi."
Orys menundukkan kepalanya, isak tangisnya terdengar sangat menyakitkan. Terlihat berulang kali tangannya mengusap pipinya yang basah akan air mata.
"Kalau kamu memang mau menebus rasa bersalahmu, terutama pada ibumu. Ikuti apa mau ibumu, permintaan ibumu."
Genggaman tangan Feno pada lengan Orys perlahan turun, hingga terlepas. "Diamlah, kamu tidak tau apa-apa. Aku yang menjalani hidup ini. Bukan kamu." lirihnya.
"Ya, aku memang tidak tau apa-apa. Ibarat buku, kamu memiliki 100 halaman. Tapi, hanya 10 halaman yang baru aku baca. Dan aku memilih untuk berhenti disana."
"Aku tidak peduli!" ujar Feno datar.
Bola mata Orys bergerak tak menentu. Kepalanya juga menggeleng kecil. "Terimakasih, sudah pernah membuatku merasakan bahagia. Dan juga, untuk semua kenangan."
Dengan cepat Orys mengambil langkah. Masih dengan air mata yang berderai. Berjalan seraya menghapus air matanya yang tak kunjung berhenti menetes. Hatinya terasa hancur melihat Feno yang begitu dingin padanya.
Daren keluar dari tempat persembunyiaannya. Sedari tadi, ia menguping pembicaraan Feno dan juga Orys. Tangannya mengepal kuat. Siap memukul Feno kapan saja. Tapi, itu hanya akan menambah masalah baru. Daren menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. Disandarkan tubuhnya pada dinding dan menengadah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Days
Teen Fiction#19 General, 01/08/2018 'Dia.... tertawa.' batin Orys. Sungguh, Orys tak menyangka Feno bisa tertawa. Tidak-tidak, semua manusia memang bisa tertawa. Tapi, untuk ukuran orang seperti Feno, rasanya itu sangat sedikit sulit. Tapi, hari ini, ia melihat...