Feno memperlambat larinya saat dirasa jaraknya sudah dekat dengan Orys. Dan berhenti tepat dihadapan Orys. Nafasnya menderu, wajah dan bajunya basah oleh keringat. Jantungnya juga masih berdetak abnormal setelah lari cukup jauh mengejar mobil yang ditumpangi Orys. Aroma parfum yang tadi ia gunakan kini dikalahkan oleh aroma keringatnya.
Ini gila, sangat gila! Berlari mengejar mobil yang tengah melaju. Masih dengan seragam kerja dan juga sepatu kerja yang memang sulit digunakan untuk berlari dengan kencang. Melepas sepatunya juga rasanya tak mungkin, mengingat jalanan aspal yang panas, kakinya bisa terbakar jika tanpa alas. Beruntung jalanan siang ini cukup padat, sehingga laju mobil tak terlalu kencang, begitu juga dengan mobil yang ditumpangi Orys. Jadi, masih bisa mengejarnya.
Feno menatap Orys lekat-lekat, begitu pula dengan Orys yang menatapnya serius. Detik berikutnya, Feno berbalik dan bersiap memgambil langkah. Namun, genggaman tangan Orys pada tangannya, menahannya. Membuatnya kembali berbalik dan menghadap Orys seperti sebelumnya.
"Terimakasih." ucap Orys dengan malu-malu.
"Maafkan aku." lirih Feno.
Orys mengerutkan dahinya. Matanya menatap lurus Feno, meminta penjelasan.
"Kamu benar, aku memang seorang pecundang. Aku terus berusaha lari, berusaha melupakan semua kejadian yang membuatku terpuruk. Tapi, aku tidak bisa melakukannya. Rasa bersalah itu seolah sudah menguasai otakku." ujar Feno. "Seperti yang kamu katakan, aku tidak bisa terus seperti ini. Aku harus mengubah pola pikirku." sambungnya.
Untuk beberapa alasan, Orys mengembangkan senyumnya.
"Kamu bilang, kamu baru membaca 10 halaman dalam diriku. Jadi, lebih baik kamu memang berhenti. Buang buku itu, aku tidak mau kamu menyesal nantinya, jika terus membaca kelanjutannya."
"Kamu memintaku untuk membuang buku itu. Tapi, kenapa kamu muncul dihadapanku sekarang? Apa aku harus melemparmu ke tempat sampah?" tanya Orys yang terdengar seperti sebuah candaan. "Kamu tahu? Dengan kamu muncul dihadapanku saat ini. Aku sedang membaca halaman ke-11 mu." sambungnya.
"Baiklah, aku akan menghilang dari hadapanmu." ucap Feno.
Dengan cepat Orys menahannya, bahkan sebelum Feno sempat menggerakkan tubuhnya. Tak lama setelah itu, dijewernya kuat-kuat telinga Feno hingga sang pemilik telinga berteriak kesakitan.
"Kamu bilang, kamu mau mengubah pola pikirmu. Tapi, kamu masih saja berpikir seperti itu." omel Orys.
Feno mengusap-usap telinganya yang baru saja dilepaskan oleh Orys. Rasanya panas dan sakit.
"Aku... aku sedang berusaha menerima kenyataan ini. Dan, aku akan melakukannya." ujar Feno.
Orys mengernyitkan dahinya bingung. Melakukannya? Melakukan apa?
"Maksudmu?" tanya Orys dengan kepala yang sedikit ia miringkan.
"Apa yang kamu katakan waktu itu, aku akan melakukannya. Memenuhi permintaan ibuku untuk menebus rasa bersalahku." jelas Feno.
"Aku senang mendengarnya. Dan aku yakin, ibumu juga senang mendengarnya." balas Orys.
"Masih banyak hal yang ingin aku lakukan. Banyak hal yang ingin aku capai. Salah satunya, aku ingin terus menjadi teman dekatmu. Bukan hanya itu, tapi juga teman hidupmu."
Orys tersipu malu mendengar perkataan Feno. Apa ini, Feno menggombalinya di jalan raya? Tempatnya tidak romantis memang, tapi, ya sudahlah, itu bukan masalah.
"Sejujurnya, aku juga takut kehilanganmu. Tapi, lebih dari semua itu, ada teman-teman yang begitu menyayangimu. Apa kamu mau pergi meninggalkan mereka? Apa kamu mau melihat mereka sedih karna kehilanganmu?" Orys mengambil jeda sejenak. "Ikatan kalian begitu kuat, 'kan? Itu yang membuatku merasa nyaman saat berada di tengah-tengah kalian. Jadi, apa kamu mau berpisah dengan mereka?" sambungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Our Days
Teen Fiction#19 General, 01/08/2018 'Dia.... tertawa.' batin Orys. Sungguh, Orys tak menyangka Feno bisa tertawa. Tidak-tidak, semua manusia memang bisa tertawa. Tapi, untuk ukuran orang seperti Feno, rasanya itu sangat sedikit sulit. Tapi, hari ini, ia melihat...