Rasanya begitu hangat. Tidak seperti malam-malam sebelum ini yang selalu dilewati Liliane Green dengan kedinginan, akibat dia harus berhemat kayu bakar untuk perapian dan hanya punya selembar selimut yang sudah hilang ketebalannya.
Bahkan malam ini kasurnya yang keras dan penuh tambalan terasa sangat empuk dan nyaman. Liliane semakin menyembunyikan diri. Bergelung dalam kenyamanan yang belum pernah dia rasakan.
Liliane merasakan ada angin yang bertiup di belakang tengkuknya. Oh, apakah jendela kamarnya berlubang lagi? Rasanya dia sudah menambal lubang itu 3 hari yang lalu. Dan apakah angin bisa berasa sehangat ini? Sehangat hembusan nafas. Besok dia harus menambal lubang di jendela itu lagi.
Sesuatu bergerak di balik punggung Liliane. Sesuatu itu bergerak melingkari pinggangnya.
Tangan?
Tangan yang sangat kokoh.
Liliane melompat dari lelapnya. Membuat selimut yang menyelimuti tubuh polosnya merosot. Kaget, malu, dan takut. Itulah yg ia rasakan. Jantungnya berdentum-dentum seperti akan melompat keluar. Liliane mendesak keberanian yang tersisa dalam dirinya untuk melihat sekeliling.
Ya Tuhan, Lord Hamsford sedang tertidur di sebelahnya. Dan --sepertinya-- juga telanjang?!
Apa yang terjadi? Mungkinkah? Liliane mencari bukti itu. Air mata mulai menggenang di pelupuk matanya. Ada bercak darah tepat di ranjang besar tempatnya terduduk saat ini.
Dia harus pergi dari sini. Dia tak mau lagi bertemu laki-laki yang telah menghancurkan masa depannya.
Liliane hendak berdiri tapi lututnya gemetar. Rasa nyeri terpatri kuat di antara kedua pahanya. Dia kembali limbung.
Oh, Tuhan tak cukupkah kemalangan yang engkau berikan padanya selama ini? Mengapa engkau tambahkan sebuah kemalangan lagi? Hanya kesucian yang ia miliki selama ini, satu-satunya harta miliknya. Tapi kini sudah tak ada lagi.
Liliane mencoba lagi untuk berdiri. Dengan langkah yang terseok-seok Ia memunguti pakaiannya yang bertebaran di lantai berkarpet coklat muda yang lembut.
Setelah berpakaian dengan lebih pantas Liliane berjalan ke arah pintu dengan tangan bertumpu pada dinding. Sial, kamar ini sangat luas. Mungkin seukuran rumahnya.
Liliane berhasil keluar kamar. Dari jendela di hadapannya dia tahu bahwa hari sudah menjelang pagi. Langit tidak lagi pekat, tapi belum juga seterang siang. Liliane kembali berjalan merambat di tembok. Langkahnya sangat pelan dan pendek.
Liliane masih saja merutuki kesialannya menyebabkan air mata enggan berhenti mengalir.
"Selamat pagi Ms. Green?" sapa seorang pria tua dari belakang punggungnya.
"Mr. Robinson...tolong tunjukkan jalan keluar dari rumah ini." ratap Liliane Green. Dia telah kehilangan harta berharganya, dia ingin pulang untuk menemukan ketenangan.
§§§
William bangun dengan pikiran linglung. Dari celah tirai coklat tua itu dia tahu hari telah siang. Tumben sekali Mr. Robinson tidak membangunkannya.
William mengacak-acak rambut coklat mahoninya. Kepalanya masih berdenyut hebat, salahnya terlalu banyak minum.
Ya, Will ingat saat mabuk semalam Ia bertemu miss Green. Gadis itu membantunya pulang. Lalu mereka mengobrol di ruang kerjanya. Wajah gadis itu yang memerah karena sampanye terlihat sangat manis. Pastilah itu sampanye pertamanya. Sampai sekarang bau wangi miss green masih memenuhi ingatannya. Lalu setelah itu mereka...
Ya Tuhan...apa yang telah ia lakukan pada gadis malang itu?
Will menyibak kasar seluruh selimutnya. Liliane Green sudah tak ada disana. Tapi sisa-sisa kehadirannya masih tampak. Bunga-bunga baby's breath yang bertebaran dan noda darah yang terlukis di seprai krem miliknya.
![](https://img.wattpad.com/cover/111407441-288-k655688.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Be His Countess (END)
Historical Fiction#7 in Historical Fiction (9.11.17) #4 in Historical Fiction (17.11.17) Liliane Green seorang gadis penjual bunga. Pertemuannya dengan William Huntley, Earl of Hamsford awalnya biasa saja layaknya seorang pembeli dan pedagang biasa. Seringnya sang ea...