19. The Truth

14.7K 1.1K 239
                                    

Liliane segera mengurungkan niat untuk membasuh wajah ketika seseorang mengetuk pintu rumahnya. Clark membukakan pintu untuk pemuda itu, tapi Clark segera membatu, lily yang berikutnya menyapa sang tamu, anak gadisnya pun sama, membatu seolah sedang bertatap dengan hantu.

"Bagaimana mungkin kalian memiliki wajah yang nyaris sama?" Clark terdengar bergumam. Tapi tak ada yang berniat menjawab pertanyaannya bahkan ia sendiri.

Kebisuan ketiga orang yang memenuhi ambang pintu segera memancing rasa penasaran Liliane akan sosok tamu itu.

"Hey...anak-anak, siapa yang datang?" Liliane yang bertubuh lebih mungil daripada Lily dan Clark dengan susah payah menggeser tubuh anak dan keponakannya itu hingga mereka menepi.

Pemuda itu bertubuh jangkung, ia memakai setelan mewah ala bangsawan. Rambutnya yang kusut berwarna sehitam malam, sedangkan manik matanya sehijau hamparan rumput. Pemuda itu bagaikan cermin bagi putrinya tapi dalam versi seorang laki-laki.

"Mama?" cicitnya, ada isakan tertahan di tenggorokan sang pemuda.

"Mama?" Lily dan Clark sama-sama mengernyit. Lalu memandang wajah Liliane untuk menuntut penjelasan.

Tak diragukan lagi, pemuda didepannya ini adalah Christoper, putra yang dilahirkannya bersamaan dengan Lily, setengah keajaiban (miracle) yang ia tinggalkan selama hampir 17 tahun dalam asuhan William.

Ia menyongsong pemuda itu ke dalam pelukannya. Rasa haru telah membuncah, air mata yang baru saja kering telah meluap kembali. Liliane tak menggumamkan apa pun selain kata "maaf..." yang bertubi-tubi ia luncurkan.

Sedangkan pemuda itu menenggelamkan wajah di sisi kepala mamanya, menghirup aroma wangi bunga-bunga yang serasa tak asing, ia menghirup sebanyak yang ia bisa seolah ia haus akan aroma wangi itu.

Seluruh keluarga Green yang hadir menyaksikan drama keluarga itu dalam khidmat. Beberapa dari mereka turut meneteskan air mata terutama kalangan tua-tua yang sudah sangat tahu kisah Liliane, sedangkan para muda-muda terlebih para gadis Green lebih penasaran akan sosok tampan yang sedang di peluk oleh Liliane.

"Dengan siapa kau kemari, Nak? Bagaimana kau tahu tentang mama?"

"Aku--Ma, bisakah kita bicara berdua saja? Atau...mungkin bertiga?" Christ menatap lembut pada saudari kembarnya.

"Baiklah, Chris, Lily, ikuti aku." Liliane membawa anak-anaknya ke ruang makan yang menyatu dengan dapur.

"Maaf Chris, mungkin kau tak terbiasa masuk ke dapur."

Chris hanya tersenyum.

Liliane mempersilahkan anak-anaknya duduk. Mereka duduk berhadapan sementara Liliane duduk di ujung.

"Kalian adalah keajaiban bagi mama. Jujur saja Mama sangat berat untuk memisahkan kalian. Tapi saat itu Mama tak punya pilihan. Mama sudah berjanji kepada William --papa kalian-- untuk pergi. Lagi pula Mama merasa tidak cocok dengan kehidupan bangsawan." Liliane peremas jemari anak-anaknya.

"Apakah mama mencintai Papa?" pertanyaan Christoper seperti menampar Liliane.

"Umm...itu..." Liliane sudah lama tak memeriksa hatinya apakah cinta itu masih tersisa.

"Ma...katakan padaku!"

Liliane berpaling. Lidahnya tak sanggup berkata sementara Christoper masih dengan tatapan menuntut.

"Jangan paksa Mama!" bentak Lily.

"Aku hanya ingin keluarga kita kembali lengkap. Apakah kau sama sekali tidak merindukan Papa seperti aku yang merindukan Mama? Setidaknya pasti kau penasaran seperti apa Papamu? Apakah waktu kecil kau juga sama tersiksanya sepertiku ketika melihat anak-anak lain bersama papa mama mereka?" Chris menatap tajam pada Lily.

Be His Countess (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang