10

319 20 1
                                    

Taka masih memikirkan perkatan Ai tempo hari.

Kau tak boleh menyukaiku Taka-san.

Perkataan Ai meyakinkan Taka bahwa ia memang tidak pantas untuk mendapatkan apa itu cinta. Taka sudah melawan dirinya sendiri untuk mencoba percaya bahwa cinta itu ada. Tapi... bahkan ketika Taka mulai ingin percaya. Tidak ada kesempatan untuk Taka. Memang sejak awal seharusnya Taka tak percaya apa itu cinta. Karena yang Taka tahu, cinta adalah rasa sakit.

Sejak pulang dari kencan mereka. Ahh... mungkin hanya Taka yang menganggap bahwa kemarin adalah hari kencan mereka.

Taka terus berdiam diri, berbaring malas di sofa kediaman keluarga Morita.

Taka terus berdiam diri, berbaring malas di sofa kediaman keluarga Morita

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Taka..." Masako Mori duduk di sebelah Taka, mengelus kepala anak sulungnya itu.

Taka masih bergeming di baringannya. Meresapi setiap kasih sayang nyata yang diberikan oleh sang ibu.

"Ibu perhatikan dari kemarin, kamu diam terus. Kenapa nak? ceritakan pada ibu."

"Taka hanya lelah bu."

"Taka... dengarkan ibu... ibu ingin bicara."

Taka bangun dan duduk menghadap ibunya.

Ibu Mori tersenyum. "Ibu dengar dari Hiro, kalian bertemu dengan ayah?"

"Hm." Taka mengangguk malas.

"Taka masih marah sama ayah? bener?"

"Hm." Taka mengangguk lagi.

"Ibu percaya bahwa anak ibu ini sudah besar sekarang. Tapi nak... kamu pasti tahu bahwa semua yang terjadi dengan Hana bukanlah salah ayah. Hari itu memang sudah takdir Hana untuk pergi."

Taka diam mendengarkan ibunya.

"Ibu tahu... kalian, anak-anak ibu, tidak menyukai perceraian kami. Ibu tahu, yang paling sakit adalah kalian. Tapi nak... keputusan itu adalah yang terbaik. Kau tidak bisa terus menyalahkan ayahmu. Maafkan ayah ya? Taka mau kan memaafkan ayah?"

"Taka tidak tahu bu."

"Mulailah untuk bicara dengan ayah." Ibu Mori mengulurkan sebuah tiket ke tangan Taka.

Taka menatap ibunya heran.

"Datanglah ke konser ayahmu, dan bicaralah."

"Taka tidak janji."

---

Ai berulang kali menghela nafas. Tangannya kembali memoles wajahnya dengan make up untuk menutupi bengkak di matanya. Semalaman ia menangis sendiri di kamarnya. Kenapa hidupnya serumit ini. Ai hanya ingin bahagia. Itu saja.

"A-chan... mau berapa lama lagi kamu di dalam kamar? Ini sudah hampir jam makan siang." Suara ibunya terdengar.

"Iya mom... Ai segera keluar." Seru Ai.

Ai melangkah menuju pintu kamarnya. Sebelum tangannya menyentuh gagang pintu, Ai menoleh ke belakang. Lebih tepatnya ke arah dinding kamarnya, dimana tertempel sebuah poster besar. Poster OOR.

"Terima kasih Taka-san."

Ai menghampiri keluarganya yang sudah berkumpul di ruang makan. Kakak pertama Ai, Rey Fukuzawa, datang ke Tokyo bersama anak dan istrinya.

"Ini dia yang di tunggu baru muncul-... Ai? Kau kenapa?" Akarin, istri Rey menghampiri Ai. Mengamati wajah Ai.

Semua yang ada di meja makan memperhatikan muka Ai. Memang tidak terlalu terlihat jika hanya dipandang sekilas. Beda lagi ceritanya kalau diperhatikan baik-baik. Mata Ai terlihat sedikit bengkak.

"Aku nggak apa-apa kak. Tadi malam aku nonton film sedih, jadinya kayak gini." Ai tersenyum kikuk. Ia sudah berusaha untuk menutupi bengkak wajahnya.

Ai bernafas lega karena sepertinya alasannya diterima.

Rey Fukuzawa hanya diam memperhatikan wajah adiknya. Sebagai kakak Ai, ia tahu bahwa alasan yang Ai katakan tidak masuk akal. Ada yang tidak beres dengan Ai. Rey akan menyimpannya untuk nanti.

"A-chan, makan dulu sayang, setelah itu mata kamu yang bengkak kamu kompres dengan es."

"Iya mom.."

Ai duduk dan mulai makan siangnya. Pagi ini Ai sudah melewatkan makan pagi.

Mereka makan dengan diselingi beberapa perbincangan kecil. Lebih banyak pertanyaan tentang kabar Rey selama di Hokkaido.

---

"Gimana liburanmu di New York?" Rey berdiri di pintu kamar Ai.

Ai menoleh. Tersenyum.

"Menyenangkan kak. Kak Ken di sana sama sibuknya seperti biasa. Aku hanya jalan-jalan seperti yang sudah biasa aku lakukan. New York sudah seperti rumah keduaku."

Rey mendekat, duduk di sebelah Ai. Menatap Ai penuh arti.

"Kak Rey tahu... Ai tidak suka dengan tatapan kakak yang seperti ini?" Ai mendorong muka Rey menjauh.

Rey terkekeh. "Kau masih belum berubah Ai. Kau tetap adik kecil kami."

"Adik kakak yang paling manis bukan?" Ai tersenyum dengan mengedipkan mata menggoda.

"Bukan itu maksud kakak." Rey kembali menatap Ai dengan tatapan seriusnya. "Ada apa denganmu Ai?"

"Maksud kak Rey?"

"Kakak tahu... alasan kenapa kau menangis semalam. Itu bukan karena kau menonton film sedih, seperti yang kau bilang. Ada alasan lain yang kau sembunyikan?"

"Aku benci kak Rey yang seperti ini."

"Katakan sekarang atau kakak akan mencari tahu sendiri?"

Ai diam tak mengatakan apapun.

"Kau memilih yang ke dua? baiklah... kakak tak bisa memaksamu. Sekarang... kau mau menemani kakak jalan-jalan?"

"Tentu."

---

"Hiro pulang!...." seru Hiro begitu ia memasuki rumah.

Ibu Mori dan Taka hanya menghela nafas. "Anak itu benar-benar..." ibu Mori terkekeh.

"Kalian belum siap? ayolah ini adalah hari untuk Hana-chan. Kalian harus cepat bersiap. Hana-chan tidak suka menunggu."

"Tentu saja... kita tidak akan melupakan bidadari satu itu. Tunggu 30 menit. Kita akan berangkat bersama."



Ai-Taka (OOR)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang