Taka, Hiro, dan ibu Mori datang mengunjungi Hanako.
Mereka merayakan hari ulang tahun Hana.
"Hai... kakak yang paling cantik. Adikmu yang tampan ini datang. Aku bawa coklat kesukaanmu. Kau pasti suka. Ini coklat rasa terbaru dari toko langgananmu. Aku sudah mencobanya. Kau tidak akan menghajarku hanya karena itu bukan?" Hiro bicara. Ia kemudian meletakkan sekotak coklat di depan nisan Hana.
"Jangan dengarkan Hiro. Ia hanya sedang merayumu. Kali ini kakak bawakan sebuket mawar untuk Hana yang manis. Kau selalu bertanya pada kakak bukan? Apa yang akan kakak bawa untuk seseorang yang kakak sayangi? Maka inilah yang akan kakak bawa. Kakak selalu menyayangimu Hana. Kau yang terbaik."
"Putri ibu... ibu kangen. Tidak ada lagi yang bisa misahin Taka dan Hiro ketika mereka bertengkar. Cuma kamu yang bisa membuat mereka diam. Ibu sayang kalian bertiga."
Taka dan Hiro lalu memeluk ibu mereka.
---
Taka tak ikut pulang bersama Hiro dan ibunya.
Setelah dari pemakaman. Taka pergi menemui seseorang.
Sebenarnya ia sedikit enggan. Ia masih merasa sakit di hatinya karena penolakan.
Taka menatap Ai yang berdiri di depannya. Mata biru itu tak lagi memancarkan binarnya. Mata itu terlihat putus asa.
Taka menemui Ai.
Entah apa... Taka tidak begitu mengerti ketika Ai mengirimnya sebuah pesan singkat untuk bertemu. Awalnya Taka ingin mengabaikan pesan itu. Tapi... ia benar-benar tak bisa melakukannya. Ia peduli terhadap Ai.
"Aku nggak mau dijodohin. Aku nggak mau, Taka... please help me. Bawa aku pergi." Ucap Ai begitu Taka sampai di depannya.
"Hari ini seharusnya kamu menemui calon tunanganmu itu bukan?" Taka menatapnya tenang.
Ai hanya mengangguk. Ia tak mengerti kenapa Taka menanyakan hal yang sudah jelas.
"Ayo..."
"Kemana? Kau akan membawaku pergi?" ia menatap Taka penuh harap.
"Aku akan menemanimu bertemu calon tunangamu."
Ai menggeleng tegas.
"Aku nggak mau Taka. Aku nggak kenal siapa dia. Aku nggak pernah ketemu sama dia. Dan nggak akan pernah mau menemui dia."
"Karena itu, ayo aku temani kamu menemuinya. Aku akan memintamu darinya kalau perlu. Kau harus menghadapinya A-chan, bukan lari dari masalah. Ayo... aku temani. Kau percaya padaku bukan?"
"Hm." Ai mengangguk lagi.
Dalam perjalanan mereka hanya diselimuti oleh keheningan. Taka tak tahu apakah ini keputusan terbaiknya. Mengantarkan Ai pada calon tunangannya bukanlah salah satu keinginannya. Mengetahui Ai telah dijodohkan membuat dirinya marah. Ia tak rela ada orang lain yang akan memiliki Ai. Karena Ai hanya untuknya.
Ai dan Taka memasuki sebuah cafe. Ai menyebutkan nama reserfasi pada salah satu pelayan cafe. Kemudian pelayan itu menuntun Ai dan Taka memasuki sebuah ruangan yang lebih private.
Ai dan Taka saling pandang. Mereka masih berdiri di depan sebuah pintu setelah pelayan pergi.
Taka mengangguk meyakinkan Ai bahwa semua akan baik-baik saja.
Srek... pintu terbuka.
Tiga orang itu saling pandang tak bergerak.
Ai dan Taka mematung melihat seseorang yang berada di ruangan itu. Sedangkan orang itu juga sama diamnya memandang Ai dan Taka dengan tatapan heran.
"Kalian sedang apa di sini?" tanya orang itu.
"Toru-san? Kau sendiri sedang apa di sini?" ucap Ai.
Taka memandang Ai yang berdiri di sebelahnya. Tatapannya kini beralih ke Toru yang masih memandang Ai dan Taka dengan tatapan bingung.
"Hahahahaa...." Taka tertawa membuat Ai dan Toru menatapnya heran. Tawa itu terdengar menyedihkan.
"Jadi... orang yang akan menjadi calon tunangan Ai adalah Toru-chan. Lega rasanya mengetahui Ai di tangan yang tepat. Aku mengantar Ai kemari untuk menemui calon tungannnya."
Ai menoleh manatap Taka. Apa maksudnya?!
Taka memegang kedua bahu Ai. Menuntunnya mendekat ke arah Toru.
Ai sendiri tak melepas tatapannya dari Taka.
"Nah Toru-chan... aku titip Ai. Jaga dia baik-baik." Lagi-lagi Taka tersenyum. "Aku pergi dulu. Selamat untuk kalian." Taka melangkah pergi.
---
Ai masih berdiri di sana. Menatap ke arah di mana Taka pergi menghilang.
Tak jauh darinya, Toru masih duduk tenang.
"Aku tidak tahu kalau kau mengenal Taka."
Ai masih diam. Ia bahkan tak berpaling untuk menatap Toru balik.
"Sepertinya aku sedikit memahami situasi saat ini. Bisa ku tebak. Kau tak menginginkan perjodohan ini bukan?"
Ai diam.
"Sejujurnya aku juga tak begitu menginginkannya."
Kali ini Ai menoleh.
"Duduklah. Kau sudah lama berdiri diam di situ."
"Apa maksudmu?"
"Akhirnya kau bicara juga."
"Tidak ada maksud tertentu. Aku menyetujui perjodohan ini karena orang tuaku. Tidak lebih. Aku memang tidak menginginkannya tapi aku juga tak menolak."
Ai menatap Toru. Ia tidak mengerti dengan kata-kata Toru.
"Singkatnya, aku tidak tahu apa yang sedang aku lakukan. Aku menerima perjodohan ini karena aku yakin aku bisa memberikan apa pun untukmu. Maksudku, aku bisa memberikan perhatian layaknya seorang tunangan pada umumnya."
Ai semakin tidak mengerti.
"Sedangkan maksud dari aku tidak menginginkan perjodohan ini adalah. Aku tidak bisa memberikan hatiku untukmu. Karena hatiku sudah hilang. Terkubur jauh dan tak tersentuh."
"Intinya, aku tidak akan pernah bahagia jika aku meneruskan perjodohan ini bukan?!" sentak Ai.
Toru mengangguk. "Jika kau mengharapkan sebuah cinta. Maka aku tidak bisa memberikannya."
Ai mendengus. "Aku rasa pilihanku memang benar. Aku memang harus menentang perjodohan ini."
Toru terkekeh. "Aku tidak pernah melihat Taka pergi dengan seorang wanita.
---
"Hiro... kau sibuk?"
"Tidak."
"Temani aku minum."
"Wow... kau mau mentraktirku? Tumben?"
"Mau ikut atau nggak?!"
"Tentu saja mau."
Hiro menatap Taka yang sedang menuang minuman ke dalam gelas untuk ke sekian kalinya.
"Kau ada masalah?"
"Tidak."
"Kau pasti ada masalah."
"Aku bilang tidak!!"
"Sudah pasti itu sebuah masalah."
"Ck..."
"Kau sudah cukup mabuk. Jangan minum lagi." Hiro meraih gelas Taka. "Kita pulang sekarang. Sebelum kau membuatku semakin repot."
Sepanjang perjalanan, Taka terus mengigau tak jelas.