52 - Cerpen

113 6 1
                                    

Judul : Akhirnya Aku Sadar
Uname Wp : jabajwo
Tema : Penyesalan
Cerpen/Drabble : Cerpen

Akhirnya Aku Sadar
Di keheningan malam, aku sering mendengar elegi-elegi yang menyayat hati. Setiap aku mengintip dari sela-sela kain penutup jendelaku, sosok tinggi besar tampak jongkok di seberang jalan, tangannya bersedekap di depan dada.
Aku tak pernah tahu dia siapa, juga tak tahu apa jenis kelaminnya. Jika dilihat dari baret dan sepatu pantofel yang hampir tak kasatmata karena tertutup jubahnya yang panjang, aku yakin dia lelaki. Tapi, setiap mendengar suara tangisnya yang melengking, yang mampu beradu dengan lolongan serigala bilamana bulan purnama menggantung indah di langit gelap, aku pikir dia perempuan.
Aku selalu bertanya pada orang tuaku tentang elegi dan tangis orang misterius itu, tapi mereka tak mendengar apa pun dan bilang bahwa aku hanya bermimpi.
Apa benar itu mimpi?
Tapi, semuanya terasa nyata. Aku benar-benar ingat ketika pertama kali aku mendengar suara itu.
Saat itu jangkrik beradu suara dengan kodok. Aku masih berkutat dengan soal-soal matematika. Tepat jam dua belas malam, suara itu tiba-tiba memasuki indra pendengaranku. Menggetarkan rambut-rambut di telingaku sehingga aku refleks melangkahkan tungkai menuju jendela.
Aku mencari-cari asalnya, dan terenyak ketika menemukan sosok itu. Aku sedikit takut sih, soalnya, sosok itu benar-benar horor. Siapa pula yang mau mendatangi rumah seberang itu dan menangis di sana saat tengah malam begini?
Dan kejadian itu terus berlanjut hingga sekarang. Tak bisa dimungkiri, sesuatu dalam diriku selalu berteriak-teriak untuk mencari tahu siapa orang itu sebenarnya.
Sosok misterius itu tak pernah datang di pagi dan siang hari. Aku membuktikannya ketika aku melewati rumah itu setiap pergi dan pulang sekolah. Dia hanya datang setiap jam dua belas malam.
Aku juga bertanya pada tetangga-tetanggaku. Mereka juga tidak pernah mendengar suara itu! Jadi, apa ini artinya aku seorang indigo? Mampu mendengar dan melihat sesuatu yang tak manusia normal lain lihat dan dengarkan?
Malam ini aku tidur lebih cepat. Aku takut dia datang lagi dan membuatku makin kalut.
Aku masih berguling-guling di ranjang. Aku memang tak biasa tidur di bawah jam dua belas, sih. Sedang asyik mengguling tubuh, tiba-tiba angin berembus begitu kencang. Menerbangkan penutup jendela putihku.
Aku merapatkan selimut. Juga memeluk guling lebih erat lagi. Entah kenapa bulu romaku sekarang berdiri. Jendelaku terbanting dengan keras. Membuatku memekik dan loncat dari ranjangku.
Jantungku berdentum-dentum. Dengan tangan bergetar, aku menutup jendelaku lagi. Tapi, sebuah kertas menempel di kaca jendela. Rasa penasaran muncul tanpa permisi, dan aku langsung mengambil kertas itu tanpa berpikir dua kali.
Aku membolak-balik kertas itu. Hmm, tak ada apa— hey, tunggu! Ada tulisan kecil di pojok bawah kertas!
Jangan sampai terlambat besok pagi.
Terlambat ke mana? Sekolah? Besok kan hari Minggu! Aku mencari kalender di atas meja belajar. Tak ada catatan apa pun yang aku buat untuk besok.
"Ah, palingan ini kertas cuma dibuat-buat sama anak kurang kerjaan," kataku santai. "Lebih baik aku buang saja, ya." Kertas itu mendarat mulus di tempat sampah. Berimpitan dengan kertas-kertas tak dipakai lainnya.
Setelah memastikan jendela terkunci dengan baik, aku berniat bergelung lagi di tempat tidur. Tapi, tunggu dulu.
Sosok yang biasa kuperhatikan kini melihatku! Ya ampun, betapa mengerikannya ia!
Sontak kututup penutup jendela dan berbaring meringkuk.
Astaga, jangan sampai dia merasukiku!

Pagi ini Sang Raja Langit bersinar tak terlalu terang. Gumpalan awan yang tampak seperti kapas menggantung indah di atas sana.

"Bella, kamu jadi ke rumah temanmu?" tanya Mama ketika aku berjalan melewatinya.
"Hm?" sahutku dengan mata yang masih terbuka setengah.
"Kamu bilang mau ke rumah Dinda." Mama mengulang kalimatnya barusan.
Oh, itu dia! Bagaimana bisa aku melupakan hari ulang tahun sahabatku sendiri?
Aku bergegas mandi dan memilih baju yang cocok. Setelah aku berganti baju, aku menemukan kertas lagi di jendelaku. Aku mengernyit heran karena kertas itu dipenuhi coretan-coretan tak jelas. Kata-kata di sana ditulis tak beraturan, dengan gabungan angka dan huruf. Aku mencoba merangkainya sampai berhasil.
Sudah kubilang jangan terlambat! Kenapa kau tidak mengerti?
Ah, apa mungkin ini Dinda? Dia memang tidak suka jika aku datang terlambat. Segera saja aku letakkan kertas itu di atas meja dan berpamitan pada kedua orang tuaku.
"Bel, lama banget sih, datangnya," kata Dinda ketika aku sampai. Bibirnya mengerucut.
Aku tertawa seraya mencubit pipinya. "Maaf, ya. Aku telat bangun. Tapi, jangan kirim-kirim surat yang bikin aku takut, dong!" Aku melepas cubitanku setelah dia meronta.
"Surat apa?" tanyanya bingung.
Aku mengernyit. "Itu loh, surat yang kamu tempel di jendelaku."
Dinda bergeming sesaat. Lalu dia tertawa keras sambil menepuk bahuku. "Bel, ngapain aku kirim surat ke kamu? Jarak rumah kita kan dekat banget." Ia menghapus air mata yang keluar dari sudut matanya.
Pernyataan Dinda membuatku bergidik. Kalau bukan Dinda, lalu siapa?
Aku mencoba menepis pertanyaanku sendiri dan menikmati pestanya. Hm, kue dan minumannya enak sekali!
Setelah acara peluk-pelukan, aku pulang ke rumah. Sudah hampir jam tujuh malam.
"Nak, kok lama banget pulangnya?" tanya Mama setelah aku melepas sepatu.
"Iya, Ma. Soalnya tadi kue-kuenya enak banget. Aku jadi betah di sana." Aku tersenyum semringah.
Tapi, obsidian hitamku menangkap sorot kesedihan dari wajah Mama yang mengeriput.
Aku tidak tahu kenapa. Dan juga tidak mau terlalu peduli. Mungkin Mama sedih karena tak bisa membuat pesta semeriah itu kala aku berulang tahun.
Aku mencoba membiarkan dan bersiap untuk mandi. Sebelum aku menyentuh gagang pintu kamar mandi, aku melihat secarik kertas lagi di jendelaku.
Kau akan menyesal.
Tiga kata itu ditulis dengan pulpen merah. Dasar kurang kerjaan! Aku meremas kertas itu dan masuk ke kamar mandi.
Aku belajar setelahnya. Menghapal untuk ulangan sejarah besok.
"Hei, kau." Suara berat itu membuatku bergidik. Aku takut-takut menoleh dan mendapati sosok misterius itu kini melihatku tajam di dekat jendela.
Aku ingin berteriak, tapi suaraku seakan tertahan di tenggorokan.
"Jangan takut." Ia melembutkan tatapannya. "Aku bukan orang jahat."
Tapi kau makhluk gaib!
"Dan bukan makhluk gaib seperti yang kau pikirkan."
Bagaimana bisa dia membaca pikiranku?
Aku masih menetralkan napas, dan dia sudah meloncat, lalu duduk di ranjangku.
"Apa kau tidak ingat ini hari apa?" tanyanya.
"I—ini hari ulang tahun sahabatku," jawabku tergagap.
"Miris." Wajahnya berubah sendu.
Lelaki itu—ah, aku akhirnya tahu dia seorang lelaki—mendekatiku sampai aku terpojok.
"Akan kuceritakan kenapa aku sering menangis di depan rumah tua itu." Aku bisa melihat wajah tampannya dalam jarak sedekat ini.
Hei, fokus!  Otakku menyeru.
"Dulu, aku dan kedua orang tuaku tinggal di sana. Kami adalah keluarga kecil yang bahagia. Ibuku adalah sosok wanita lembut dan mencintaiku sepenuh hati. Ayahku seorang kuli bangunan. Walaupun kami hidup pas-pasan, aku tidak pernah mengeluh.
"Tapi, semua itu berubah ketika aku mulai masuk sekolah menengah. Semua temanku sudah dibelikan gadget. Aku juga menuntut untuk dibelikan satu.
"Ayah dan Mama berjanji akan membelikan gadget suatu hari nanti. Ayah bekerja lebih keras, ia berulang kali jatuh sakit karena itu. Mama juga mulai menjual kue-kue untuk menambah penghasilan.
"Aku saat itu tidak tahu perjuangan keras mereka itu hanyalah untuk membelikanku gadget. Aku pikir karena memang kami sedang krisis. Jadi aku senang-senang saja ketika mendapat sebuah ponsel pintar, walau dengan harga murah."
Dia mengusap wajahnya frustrasi.
"Aku memeluk mereka yang tersenyum haru ke arahku. Tapi, aku memang anak tidak tahu diri. Aku mulai mengabaikan keberadaan mereka yang semakin lemah dimakan usia. Ketika temanku ulang tahun, aku yang pertama datang. Aku melupakan Mama yang juga berulang tahun di hari yang sama. Aku pulang disambut oleh Mama, tapi aku mengabaikannya dan memilih bermain dengan ponselku.
"Bertahun-tahun terlewati, dan suatu hari aku diundang untuk jamuan makan malam dari wali kota karena kepintaranku. Aku mengabaikan pesan-pesan Ayah dan Mama. Ketika aku pulang ke rumah, aku mendapati mereka terbujur kaku, dengan tubuh kurus kering."
Dia mulai terisak. Tangaku terulur untuk menghapus air matanya. Sebuah memori tiba-tiba menghantam kepalaku.
"Berapa lama aku mengabaikan mereka? Membiarkan mereka mencari uang sedangkan aku bersenang-senang. Aku menangis sejadi-jadinya. Aku juga ingat waktu itu adalah ulang tahun Ayahku yang keenam puluh dan Mama yang kelima puluh empat. Sungguh miris menyaksikan orang tuaku meninggal di saat aku belum menyanyikan lagu ulang tahun seperti yang selalu mereka lakukan padaku."
Mataku sukses membelalak. Itu dia! Hari ulang tahun Mama! Aku juga teringat wajah mereka yang takut ketika ingin meminjam laptopku. Juga ucapan-ucapan kasarku ketika mereka tak bisa mengoperasikan ponsel yang baru mereka beli dengan uang bersama seharga lima ratus ribu rupiah.
Aku menyesal. Tanpa permisi, air mata meluruh menuruni pipiku. Segera saja aku berlari dan memeluk Mama yang sedang merajut.
"Bella, kenapa nangis, Nak?" tanya Mama seraya mengelus rambut panjangku. Ah, sentuhan Mama tidak pernah berubah. Tetap lembut dan penuh cinta sejak aku kecil.
"Ma, selamat ulang tahun, ya. Maafin Bella karena udah lupa sama ulang tahun Mama," kataku dengan suara teredam.
Mama terenyak. Lalu mencium rambutku penuh kasih. "Makasih, Sayang. Nggak apa-apa kok kalau kamu lupa ulang tahun Mama. Yang penting kamu ingat bahwa Mama akan tetap mencintai kamu sepanjang waktu." Ya, cinta Mama memang tak akan berkurang. Aku sayang Mamaku.
"Ayah mana, Ma? Aku mau peluk Ayah juga," kataku manja. Ah, sudah lama aku tidak bermanjaan dengan Mama.
"Bentar lagi Ayah pulang, Sayang. Ayo, kita tunggu di depan," ajak Mama.
Aku mengangguk dan menggenggam erat tangan Mama. Aku janji tak akan berlaku kasar dan melupakan orang tuaku lagi.
Di kamarku, lelaki itu tersenyum bangga. Aku menggumamkan 'terima kasih' dan ia tersenyum.
"Bel, ngomong sama siapa?" tanya Mama.
Aku hanya menggeleng sambil menarik sudut bibirku ke atas.
Terima kasih, Tuan. Karena sudah menyadarkanku sebelum aku menyesal di kemudian hari.

Mensive 5th Month Wattpedia [CLOSE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang