78 - Cerpen

63 4 0
                                    

Judul: Differ
Uname Wp: leaftwin_
Tema: Percintaan
Cerpen/Drabble: Cerpen

Kamu tahu, saat pertama kali aku melihatmu. Rasanya, ada yang berbeda dalam dirimu. Kamu sungguh membuatku terpikat saat itu juga.

Entah, aku juga tak tahu dengan apa yang aku rasakan. Padahal... Aku itu salah satu orang yang tak percaya dengan yang namanya cinta pada pandangan pertama. Aku selalu mengejek sahabatku, Sheryl yang jika melihat seorang pria untuk pertama kalinya jika menurutnya itu adalah tipenya, selalu terpingkal-pingkal, berjerit, dan selalu memuji-muji pria tersebut padaku. Oh, sungguh itu alay sekali.

Namun, Sheryl adalah sahabatku yang terbaik. Ya... Walaupun aku sering menyebutnya alay, tapi kami selalu bersama, apapun yang terjadi. Dia tetap sahabatku.

Dan, sekarang... Apa aku ini termakan omonganku? Apa aku ini alay? Sungguh, hatiku mengatakan kamulah orang yang akan mengisi kekosongan hatiku.

"Serius lo? Aaaa... Seorang Dirly jatuh cinta pada pandangan pertama?" teriak Sheryl begitu mendengar ceritaku tentang kamu.

"Jangan keras-keras, nanti ada yang dengar." Aku berusaha menenangkannya yang kini sedang meloncat-loncat di atas kasur, sampai-sampai tubuhku yang sedang duduk bersila di kasur ikut naik-turun.

"Dunia benar-benar akan kiamat!" teriaknya lagi, berhenti dari lompatannya, tapi dia beralih menggoyang-goyangkan tubuhku.

Aku menyingkirkan tangannya itu dari bahuku. "Ish, shttt... Nanti ada yang denger, Alay!"

"Gak pa-pa, paling Bi Nuri. Lagian ini rumah gue. Lo nginep di rumah gue. Keluarga lo gak akan ada yang tahu," katanya, lalu meneguk air mineral karena kelelahan.

"Iya sih... Tapi alay lo jangan kambuh lagi dong." Aku mengambil kripik dari toples lalu memakannya.

"Gimana gue gak kaget. Lo kan tipe cewek yang gak suka sama orang yang baru kenal. Lah ini? Lo malah curhat ke gue sama cowok kelas sebelah."

"Gak tahu deh, tiba-tiba hati gue klik gitu pas lihat dia. Siapa sih namanya? Petir? Eh bukan, siapa? Gue lupa," ucapku sambil menggaruk jidatku yang tak gatal.

"Astaga, sama gebetan gak tahu namanya. Gila lo."

"Ish." Aku mengerucutkan bibirku.

"Fathir, nama dia Fathir. F-a-t-h-i-r. Inget-inget tuh!" kata Sheryl.

Fathir. Ya, namamu adalah Fathir.

Mengapa aku sampai bisa terpikat olehmu? Itu karena wajahmu. Saat itu, aku melihat seperti ada cahaya di wajahmu. Cahaya yang dapat menenangkat hati. Matamu juga indah. Dari matamu itu, aku seperti bisa melihat Tuhan.

Kamu memang bukan cowok terkenal di sekolah, bahkan aku juga baru tahu kalau kita bertetanggaan di sekolah. Tapi kamu adalah cowok pertama yang ada di hatiku. Dari sekian cowok yang selalu mendekatiku, hanya kamu yang aku mau. Dan kini, aku tak tahu harus bagaimana agar bisa lebih dekat denganmu.

Lalu, secara tak sengaja... Tuhan seperti mempertemukan kita melalui buku catatan matematika yang kau pinjam karena perintah Pak Galih. Perlu kamu tahu, saat itu juga aku ingin menjerit. Walaupun tak nampak, batinku waktu itu berjerit-jerit, senyum lebarku tak kunjung luntur.

Dari situ, aku dan kamu lebih dekat. Awalnya hanya berbicara mengenai pelajaran, tapi hari demi hari obrolan kita jadi lebih santai. Dari kau yang bertanya hobiku, hari-hariku, makanan kesukaanku, warna, tempat tinggal, hingga obrolan tak penting namun membuatku tertawa terpingkal-pingkal.

Semua hal yang kita lalui membuat perasaanku kian berkembang. Aku semakin yakin bahwa aku mencintaimu. Aku sangat-sangat MENCINTAIMU.

Hingga kau menyadarkan aku, tentang kesalahanku itu. Hatiku benar-benar sesak. Tangisku tak bisa kubendung, aku tak bisa menghentikan jeritan kebodohanku akan apa yang aku lakukan dengan hatiku.

Kenapa? Kenapa?

Kenapa bukan dari dulu kau mengingatkanku. Kenapa kau harus datang ke kehidupanku. Kenapa kau mendekat jika pada akhirnya kau menjauh.

Bodoh, kenapa aku terlalu bodoh.

"Fathir, aku ingin kamu tahu kalau perasaanku padamu itu berbeda," ucapku waktu kita sedang belajar di taman kota.

Kamu mengernyit heran dengan apa yang aku katakan. "Maksud kamu?"

Aku menarik napas dalam-dalam. "Aku gak bisa mendam perasaan ini. Mungkin orang bilang aku ini cewek yang tak tahu malu karena mengungkapkan perasaannya pada seorang pria. Tapi... Apa salahnya jika seorang wanita terlebih dahulu yang mengungkapkan perasaannya."

Aku menelan ludah, berusa menenangkan detak jantungku yang sudah tak karuan. "Dari pertama aku melihatmu, aku sudah tertarik padamu. Hingga sampai sekarang, saat kita sudah lebih dekat. Aku yakin dengan perasaanku ini. Aku... Aku mencintaimu. Aku mencintaimu Fathir."

Kau hanya tertunduk diam. Reaksimu membuat hatiku cemas. Rasanya, seketika itu juga aku ingin menangis.

"Seharusnya kamu harus bisa mengontrol perasaanmu itu. Ini salah, apa yang kamu katakan salah," jawabmu dengan begitu serius. Gurat wajahmu itu menunjukkan bahwa kamu itu cemas, sedih, dan juga kecewa.

"Kenapa?" bibirku bergerak tanpa suara. Tenggorokanku terasa kering. Aku tak sanggup lagi mengeluarkan kata-kata.

"Seperti yang kamu tahu, kita punya keyakinan masing-masing. Iman kita berbeda, karena itu kita tidak mungkin bersama." Mata binarmu itu entah menandakan apa. Entah berarti iba terhadapku, atau mungkin memiliki perasaan yang sama namun kau dapat meyakinkan hatimu agar rasa itu tak berkembang.

Yah... Jikalau itu benar, toh pada akhirnya kita tak bisa bersama. Dan sekarang yang harus aku lakukan hanyalah move on darimu.

Dulu, aku sering berkata pada Sheryl agar dia bisa move on dari cowok yang telah membuatnya patah hati. Dengan mudahnya mulutku mengeluarkan kata move on untuk menyemangati sahabatku. Dan sekarang, begitu sulit rasanya jika harus melupakanmu.

Berminggu-minggu aku selalu berdiam diri di kamar. Setiap harinya air mataku selalu menetes. Untuk pertama kalinya aku merasakan sakit hati. Sheryl berkali kali menghiburku, namun bukannya senang, aku malah merasa risih. Sekarang aku tahu kenapa dia selalu marah-marah jika aku hibur, padahal niatku itu baik.

Hingga pada akhirnya ...

Aku memutuskan untuk kembali bertemu denganmu. Saat itu juga aku langsung merasa bebanku mengurang. Keputusannku untuk bertemu denganmu adalah hal yang aku syukuri. Karena kata-katamulah yang meyakinkan hatiku.

"Masa depan kita masih panjang, Ly. Kamu harus bisa merelakan semuanya. Jangan gara-gara perasaanmu itu, kau malah tak bersemangat. Lagi pula... Kita masih anak sekolah, rasanya berat jika harus memikirkan perasaan. Itu semua hanya buang-buang waktu. Walaupun begitu, kita masih bisa jadi teman, atau bahkan sahabat. Mari kita meraih mimpi kita bersama-sama. Mimpi untuk sukses, membahagiakan kedua orang tua kita, dan yang paling penting jangan lupakan Tuhan. Perkuatlah Iman kita masing-masing, Ly. Jikalau kita jodoh, pasti kita akan bertemu. Kita gak akan tahu masa depan. Tapi yang harus kamu tahu, Aku percaya pada Allah. Dialah Tuhanku. Semuanya aku serahkan kepada-Nya."

Ya, seharuanya aku lebih memperkuat Imanku. Kita masih remaja 17 tahun yang seharusnya memikirkan masa depan dibanding cinta rumit ini. Kau percaya pada Allah, sedangkan aku pada Dewa.

Kita memang tidak tahu apa yang akan terjadi antara aku dan kamu di masa depan nanti. Tapi yang terpenting untuk saat ini adalah aku harus bisa melupakanmu dan menjalani hidup ini dengan penuh semangat. Mari kita sukses bersama.

Walau aku tak bisa memilikimu, tapi aku bisa menjadi sahabatmu. Sahabat lebih baik daripada cinta.

Dan aku berdoa pada Dewa agar semua ini takkan terulang lagi. Aku berdoa agar kau mendapat wanita sholehah kelak, dan aku berdoa agar aku mendapat seorang pria yang dapat membimbingku dengan keyakinan yang sama.

Dan satu lagi kata-katamu yang aku sukai. Bahwa, jangan karena satu orang asing yang baru aku kenali membuatku patah semangat. Karena masih ada keluarga dan teman-temanku yang mencintaiku sepenuh hati.

__The End__

Mensive 5th Month Wattpedia [CLOSE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang