Judul : This is Life
Uname Wp : PinkGirl__
Tema : Masa Remaja
Cerpen/Drabble : CerpenAku menatap tulisan di mading dengan mata yang hampir keluar dari tempatnya. Jantungku berdentum-dentum nyeri di dalam sana. Tahun ajaran kali ini, nilaiku merosot jauh. Dari tahun lalu yang berada di peringkat lima, sekarang menjadi peringkat lima belas.
"Peringkat lo nurun, ya? Aduh, gue turut prihatin."Seorang laki-laki berbicara dengan nada yang meremehkan. Aku menunduk dalam-dalam, tidak berani menatap dirinya yang berdiri di sebelahku.
"Lo tahu kan, apa risiko kalau peringkat lo turun?" Nada bicaranya merendah, membuat jantungku semakin berdentum. "Lo akan kena marah bokap sama nyokap. Ah, itu belum seberapa. Mungkin lo akan jadi pengemis di jalanan nantinya."
Aku meremas rok yang sedang kupakai. "Aku tahu, Kak."
Kak Redo mengangguk dengan gaya puas. Matanya menyipit tidak suka ke arahku. "Karena lo cuma anak angkat, jadi lo juga nggak berhak mempermalukan keluarga."
Setelah berkata seperti itu, Kak Redo pergi meninggalkanku yang tetap setia menahan air mata agar tidak jatuh. Tanganku dengan kasar menghapusnya.
"Rif, nilai lo gimana?" Stifa menepuk pundakku dengan pelan. Wajahnya tampak berseri-seri. "Gue peringkat satu lagi. Astaga, gue seneng banget. Mama sama papa gue bakalan beliin gue mobil. Ah, iya, dan juga Rifa, Kak Redo nembak gue tadi. Bayangin, gue seneng banget."
Cerocosan itu membuatku seketika terpaku. Tidak ada yang mengetahui jika diriku dan Kak Redo adalah saudara angkat. Kak Redo adalah tipikal kakak kelas yang digila-gilai oleh para perempuan. Dan wajar saja, jika Stifa sangat senang.
"Gimana sama nilai lo? Bagus?" Sebelum aku berkata apapun, ponsel Stifa yang berdering membuatnya mengalihkan perhatian dan pergi meninggalkanku dengan terburu-buru. "Rif, gue duluan ya, Kak Redo nelpon gue."
Aku memandang Stifa dengan tatapan miris. Lalu kembali menatap mading dengan tatapan terluka. Di mana aku dapat melepaskan segala keluh kesah?[-]
Mataku terus menyapu keadaan sekeliling. Mengamati kegiatan yang dilakukan oleh remaja lainnya. Ada yang bercengkrama dengan sahabat karib, ada yang berpacaran. Dan semuanya, tampak bahagia, berbeda dengan diriku sekarang.
Aku menyesap kopi hitamku dengan penuh perasaan. Seharusnya, di masa remaja, aku bisa menikmati hari-hariku dengan gembira.
Ponsel yang berada di sakuku bergetar perlahan. Aku merogohnya dengan helaan napas yang panjang. Lalu, dalam satu kali gesekkan, terdengar suara yang menjawab di seberang sana.
"Sedang di mana kamu sekarang? Ayo, pulang! Jangan berkeliaran di tempat-tempat yang aneh."
Suara yang diktator itu menyambutku begitu cepat. Aku melirik arlojiku sejenak. "Sebentar lagi saya akan pulang dalam waktu sepuluh menit."
Aku langsung menghabiskan kopi hitamku dalam sekali teguk. Lantas berlari kencang meninggalkan cafe yang sebentar lagi akan bobrok, dan mengejar bus.
"Apa yang kamu lakukan sepulang sekolah?"
Aku menatap sosok perempuan yang berjarak beberapa langkah dariku dengan hembusan napas. "Saya mampir ke cafe."
"Saya sudah dengar tentang peringkatmu itu. Masuk kamu ke kamar sekarang! Jangan keluar dari kamar jika saya belum menyuruhmu!" Matanya yang tajam menatapku lamat-lamat. "Sebentar lagi teman ayahmu akan datang. Saya malu mempunyai anak sepertimu."
Perkataan itu membuatku membeku beberapa saat. Lalu tersenyum pedih sambil berjalan dengan lunglai. Kamarku ada di lantai paling atas dan pojok, tempat yang paling jauh dari jangkauan orang lain. Aku masih bersyukur, setidaknya aku tidak diusir dari rumah ini.
Aku langsung membanting tubuhku ke kasur yang sangat empuk. Dan tanpa terasa, aku tertidur.[-]
Aku berjalan di koridor sekolah dengan tas yang berada di punggung. Saat diriku lewat, orang-orang yang sedang mengobrol tiba-tiba semuanya menatap ke arahku. Aku mengangkat kedua alis dengan bingung.
"Jadi lo cuma anak angkat? Orangtua lo udah mati? Alah, anak pungut aja belaga lo."
Seorang perempuan dengan seragam super ketat menabrak pundakku dengan kencang. Tubuhku sempat oleng beberapa saat.
"Gue nggak nyangka. Cewek belagu kayak lo itu cuma anak pungut yang dibuang. Udah pungut, terus dibuang. Aduh, kasihan."
Perempuan yang lainnya kembali berbicara. Aku menatap mereka dengan tidak percaya. Dadaku seperti ditikam pisau yang tajam.
"Kalian dengar itu dari mana?" Bibirku sedikit bergetar menahan tangis. Pungut. Dibuang. Kata-kata itu terekam dengan jelas di otakku. "Gue nggak dibuang."
"Stifa yang bilang itu semua. Iya nggak, Stif?" Perempuan yang pertama yang menyahut.
Aku mengikuti arah pandangnya. Tampak Stifa yang sedang melihatku dengan pandangan gusar. Aku terperangah, sungguh tidak menyangka dengan ini semua.
"Lo tega, Stif. Gue nggak nyangka. Ternyata lo sama aja kayak cewek-cewek lainnya. Busuk," desisku dengan sinis seraya menahan tangis yang sebentar lagi ingin meluap.
"Bukannya lo yang busuk? Lo nggak pernah bilang, kalau lo itu adiknya Kak Redo. Padahal, gue udah bilang ke lo, kalau gue suka sama Kak Redo." Stifa tampak memutar matanya jengah. "Kalau gue busuk, maka lo lebih busuk lagi."
Mataku berkedip, membuat air mata lolos. Ucapannya membuatku bungkam. Tanganku gemetar hebat. Pandanganku kembali melihat sekeliling. Lihatlah, semua orang menatapku dengan tatapan jijik. Aku hanya seonggok sampah di sini, tidak lebih. Aku berlari menembus kerumunan orang. Aku muak dengan semua ini. Semua orang itu munafik. Pandangan lembut mereka hanyalah topeng semata.[-]
Aku menikmati hembusan angin dan pemandangan yang disajikan di sini. Tanganku terentang dengan lebar. Bebanku seperti terangkat semua, hilang tanpa jejak. Aku sangat suka berdiam diri di sini, di lantai paling atas sebuah restoran tempatku bekerja. Bintang-bintang berkilau keemasan, aku menyukainya.
"Sedang apa kamu di sini?" Pertanyaan itu membuatku menoleh. Memerhatikan seorang laki-laki dari atas ke bawah. "Angin malam tidak baik untuk kesehatan."
Aku hanya terdiam, enggan membalas ucapan orang asing.
"Mulutmu sedang sariawan?" Aku menggeleng. "Jika tidak, mengapa kau diam saja?"
"Seharusnya, aku yang bertanya. Sedang apa kau di sini? Setiap malam aku memang selalu di sini," ujarku dengan sedikit ketus. Aku tidak senang jika diganggu.
Laki-laki dengan mata hitam pekat itu tertawa kecil. Bahunya sedikit berguncang. "Kau sangat lucu. Aku tidak menyangka kau akan sejudes ini."
"Kamu siapa? Jika tidak punya kepentingan apa-apa, mending kamu pergi. Atau, harus aku yang pergi?" Aku sudah bergerak untuk meninggalkannya, tapi tangannya mencekal.
"Jangan pergi. Aku tahu kamu suka di sini, anggap saja diriku tidak ada." Matanya menatapku lembut, membuatku terbuai beberapa saat.
Akhirnya aku bertahan di sana. Berdiri di samping laki-laki itu dengan kesunyian yang pekat. Satu menit, sepuluh menit, dua puluh menit. Aku sudah tidak tahan lagi, mulutku sangat gatal.
"Boleh aku tahu siapa namamu?"
Laki-laki itu tampak terkejut beberapa saat. Tapi dia segera tersenyum manis.
"Nama aku Aron, pernah dengar namaku?"
Aku sempat terpaku beberapa saat, sebelum kembali menormalkan wajahku. Dia teman dekatnya Kak Redo. Kakiku mundur beberapa langkah, menyebabkan jarakku ke laki-laki itu semakin menjauh.
"Aku sering ke rumahmu, dan melihatmu. Tapi sepertinya kamu tidak pernah melihat ke arahku. Makanya kamu kaget seperti itu." Aron tersenyum tipis, sangat tipis. "Jangan berlari kalau kamu tidak ingin jatuh. Kamu hanya perlu berdiri di sisiku, karena semuanya akan menjadi lebih baik."
Mulutku sedikit melongo mendengar penuturannya.
"Apa salahnya kamu sedikit memberontak pada dunia, dan menikmati masa remajamu dengan suka cita? Aku akan menemanimu, mulai dari sekarang. Jadi kamu tidak perlu takut."
Mulutku terasa membeku, bersamaan dengan Aron yang memperkikis jarak kami.
![](https://img.wattpad.com/cover/110759987-288-k460830.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Mensive 5th Month Wattpedia [CLOSE]
Random[CLOSE] -Covers Contest -Menulis Drabble/Cerpen -menulis Puisi Total hadiah : 9 novel + sticker/theme line + 35 E-book