Prolog

7.7K 261 3
                                    


                "Bukan saya yang punya tanah itu pak. Saya disini hanya untuk merawat kebun itu."

"Lalu tanah itu milik siapa pak? Saya benar-benar menginginkan tanah itu."

"Bapak langsung saja kesini. Biasanya pemiliknya datang di hari libur pak."

"Oh gituu, baik pak kalau begitu. Ada nomor telepon yang bisa saya hubungi selain Pak Ujang?"

"Ada Pak nanti saya kirimkan nomornya."

"Makasih ya Pak."

Ia memutuskan sambungan teleponnya dengan Pak Ujang dengan perasaan kecewa. Tenyata Pak Ujang bukan pemilik tanah itu. Padahal ia sudah berharap agar bisa bernegosiasi harga tanah itu sekarang juga. Waktunya sudah semakin dekat, dan ia pun harus bertindak cepat.

Ia memikirkan agendanya saat weekend. Mengingat-ingat apakah ia punya urusan lain yang lebih penting saat ini. Bertemu klien misalnya atau menghadiri peluncuran buku seorang penulis yang ia terbitkan. Karena ia harus mengosongkan jadwalnya di akhir pekan untuk bertemu dengan pemilik tanah itu.

***

Hari ini hari minggu. Seperti kebiasanya ketika hari minggu, ia akan menyempatkan waktunya untuk berkunjung ke kebun miliknya di daerah bogor. Bukan kebun untuk bercocok tanam yang dimaksud, hanya ada kebun bunga dan beberapa pohon buah yang dirawat pak Ujang setiap harinya.

Sebenarnya ia membeli tanah itu untuk investasi masa depan. Rencananya ia akan membuat sebuah rumah sederhana untuk kedua orangtuanya yang jauh dari kehidupan kota. Namun apa daya, untuk sekarang uang tabungan hasil jerih payahnya sebagai arsitek masih beum cukup untuk mewujudkan mimpinya. Mungkin masih harus menabung sekitar 3-4 tahun lagi. Itupun kalau tidak ada keperluan mendesak.

Sebagai seorang yang mengagumi seni, dan terkadang juga berusan dengan seni -dalam hal membangun rumah- dan untuk menyalurkan hobinya maka ia membuat tanah kosong miliknya dengan menanami berbagai jenis tumbuhan bunga. Mungkin hatinya sekarang sedang feminim sehingga ia menyukai bunga sebagai penyalur sisi feminimnya.

***

Suara deru mobil berhenti didepan sebuah rumah sederhana. Setelah memarkirkan kendarannya dengan benar, seorang wanita cantik turun dari mobil berwarna merah tersebut. Mengunci kembali pintu mobilnya dan berjalan menuju rumah sederhana tersebut.

"Assalamualaikum, Pak Ujang."

"Eh Ibu, masuk bu. Ada pisang goreng dari kebun ibu didalam. Fresh from the oven bu, baru digoreng sama Sri." Ucap Pak Ujang dengan sambil terkekeh.

"Apa kabar pak Ujang sama Sri?" Ucapnya sambil mendaratkan tubuhnya di kursi kayu rumah pak Ujang.

"Baik Bu, sekarang si Jaka udah bisa jalan jadi repot makin repot ngurus Hana sama Jaka. Kemaren ada yang nanyain tanah ibu, sepertinya mau dibeli bu."

"Iya saya tau pak, kemarin ada yang telpon saya nawar tanah itu."

Pak Ujang yang saat ini berada dihadapannya adalah pengurus tanah kosong miliknya dan penggarap tanah kosong itu menjadi kebun bunga dan kebun tumbuh-tumbuhan lainnya. Pak Ujang tinggal dirumah sederhana tak jauh dari tanah kosong miliknya bersama istrinya Sri dan juga 2 orang anaknya yang masih balita Hana dan Jaka.

Ditelisik dari raut wajahnya, Pak Ujang terlihat sebagai pria yang sudah berumur namun nyatanya umurnya tak beda jauh denganku. Mungkin karena hidupnya yang sudah keras dari dulu. Lain halnya dengan istrinya, Sri. Sri menikah dengan Pak Ujang diumur 19 tahun, hingga saat ini masih terlihat muda dengan wajah khas sundanya.

"Kalo gitu saya ke saung dulu pak, mau liat bunga-bunga kali aja ada yang udah bisa dipetik jadi bisa buat oleh-oleh." Ucap gadis itu sambil tersenyum dan berjalan menuju tanah kosong miliknya.

"Iya manga, Bu."

82}~i 

Langit Jingga (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang