Langit Jingga

4.3K 226 3
                                    

Semilir angin pagi itu menerbangkan beberapa helai rambutnya dan memberatkan kelopak matanya. Ia suka seperti ini sendiri sambil ditemani nyanyian alam, suara semilir angin yang membuat dedaunan mengeluarkan musiknya. Duduk didalam sebuah gazebo kecil yang sengaja ia buat untuk menikmati keindahan sang pencipta.

Menghilangkan penat akibat pekerjaan dan rutinitas sehari-hari dengan cara seperti ini merupakan hal yang biasa bagi dirinya. Seakan ia bisa melebur dengan jiwanya tanpa memikirkan logikanya dan setelahnya akan merasa seperti terlahir kembali.

Apalagi menjadi seorang arsitek yang dituntut harus menjadi kreatif membuat ia harus selalu dalam suasana hati yang baik kalau tidak mau hasil rancangnyannya menjadi seperti rumah hantu atau penjara bawah tanah.

Suara langkah kaki mengusik lamunannya. Matanya menunduk menuju suara dimana langkah kaki itu berasal. Sepasang sepatu pria membuat arah tatapan matanya berhenti. Jelas ini bukan jenis sepatu yang dipakai Pak Ujang untu menggarap tanah miliknya. Sepasang sepatu ini jenis yang selalu menginjak lantai marmer digedung bertingkat.

Dahinya mengerut lalu perlahan mengangkat wajahnya dan bertemu dengan sepasang manik mata paling hitam yang pernah ditemuinya. Tanpa tersadar ia sudah mengamati wajah pemilik manik mata hitam tersebut tanpa berkedip.

"Hmmm.." suara deheman pria tersebut menyadarkannya dari lamuman sesaatnya sehingga membuat sang gadis salah tingkah.

"Langit." Si pria memperkenalkan dirinya sambil mengulurkan tangan kananya kepada sang gadis.

"Jingga." Sang gadis menjawab uluran tangan pria tersebut sambil menyebitkan namanya.

Langit Jingga

Langit Jingga

Keduanya berujar dalam hati sambil membayangkan perkenalan mereka.

"Jadi, mengapa kau tak menjual tanah ini?" Tanpa perlu berbasa-basi Langit langsung menanyakan hal yang mengganjal hatinya sedari kemarin.

"Tak ada alasan." Jingga menjawab pertanyaan itu dengan skeptis.

"Mana mungkin! Apa harga yang ku tawarkan kurang tinggi?" Langit tak mau memperpanjang urusan ini. Bukankah kalau kau menawar sesuatu dengan harga dan ditolak berarti harga yang kau tawarkan kurang tinggi bukan?

"Didunia ini banyak hal yang terjadi tanpa perlu sebuah alasan. Kalau kau bisa mengeluarkan uang dengan mudah kenapa perlu repot-repot menawar lahan kosong ini? Bukankah disekitar sini masih banyak lahan kosong?"

Memang disekitar sini masih banyak lahan kosong. Namun masalahnya lahan-lahan kosong tersebut berupa petak-petak sawah atau rawa yang merupakan mata pencaharian utama orang-orang disini. Langit tak mungkin membelinya jika ia ingin menampilkan kesan yang baik bagi warga sekitar. Juga tanah kosong milik Jingga ini berada dekat permukiman.

"Tanah disawah tak cocok untuk membangun sebuah bangunan, kau pasti tau itu."

"Jangan primitif, banyak rekayasa teknik untuk menaikkan daya dukung tanah. Kau pasti tau itu. Harganya memang jadi lebih mahal, tapi kau kan punya banyak uang jadi tak masalah bukan?"

Jingga tak suka sikap orang ini. Bukankah dia harusnya bersikap baik agar bisa bernegosiasi harga dengan Jingga. Tapi yang terlihat sekarang, Langit sungguh seorang pemaksa dan Jingga tidak suka itu.

Akhirnya Jingga pergi meninggalkan langit sendiri dan membawa langkah kakinya kembali menuju mobilnya. Dengan gerakan cepat ia menyalakan mesin mobilnya dan melajukan mobilnya meninggalkan daerah itu. Jingga sudah kehilangan moodnya saat ini, dan yang bisa dipikirkannya adalah pergi menjauhi sumber yang membuat moodnya berantakan.

Sepeninggal Jingga yang tiba-tiba, Langit duduk ditepi gazebo. Membayangkan hari-hari yang akan dilaluinya dengan sulit setelah ini. 

Langit Jingga (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang