Sebelum baca yuk di vote dulu :*
*
*
Langit tak menyangka mengajak Jingga akan semudah ini. Ia pikir akan ada drama atau pertumpahan darah terlebih dahulu mengingat telepon pertamanya yang membuat Jingga kesal setengah mati dan jawaban pada telepon keduanya yang tanpa basa-basi.
Langit tak sabar bertemu Jingga di restoran tempat ia menemukan Jingga saat bertemu dengan orang masa lalunya. Langit tak punya bayangan akan seperti apa nantinya. Ia pikir Jingga tak akan pernah mau menginjakkan kali kembali ke restoran tersebut karena pertengkaran terakhirnya dengan seseorang dimasa lalunya mungkin mebuat Jingga merasa jengah namun perkiraan Langit salah. Nampaknya Jingga tak ada masalah dengan kejadian tersebut dan sepertinya Jingga sangat menyukai restoran tersebut.
Tak ingin membuat Jingga menunggu, karena Langit selalu menjunjung tinggi waktu dan ia tak pernah membuat para wanita menunggu dirinya, tangannya segera menyambar kunci mobil yang tergeletak di atas mejanya lalu berjalan keluar dari ruangnnya menuju tempat dimana mobilnya terparkir dengan manisnya.
**
Suasana Gwenivere malam itu sangat ramai. Beruntung Langit masih mendapatkan meja kosong untuk 2 orang. Meja tersebut dekat dengan jendela dan dekat dengan panggung kecil dimana terdapat live music. Langit menunggu Jingga sambil menikmati alunan lagu dari live musik tersebut. Tak berapa lama kemudian Langit menemukan sosok gadis cantik yang berjalan kearah mejanya.
Langit tak menyadari bahwa gadis cantik tersebut merupakan Jingga sampai Jingga berada dalam jarak pandangnya. Jingga yang dihadapan Langit saat ini tampak memukau walaupun dengan pakaian kerjanya. Entah mengapa wajahnya tampak berseri-seri. Rambut hitamnya dibiarkan tergerai melewati bahunya dan tanpa menyentuhnya Langit pun tahu betapa halus rambut hitam Jingga.
"Sreekk!" suara kursi yang ditarik oleh Jingga menyadarkan Langit dari lamunan singkatnya. Setelah Jingga duduk didepannya, Langit memasang senyum manisnya lalu melambaikan tangannya pada pelayan restoran untuk memesan makanan.
"Jadi? Ada keperluan apa kamu ngajak aku kesini?" ujar Jingga setelah mereka memesan makanan masing-masing.
"Loh kan kamu yang ngajak aku kesini." Langit terkekeh dengan ucapannya sendiri. Memang tadi dia yang mengajak Jingga makan malam tetapi Jingga yang mengajaknya bertemu disini. Jadi yang mengajak mereka makan di Gwenivere Jingga bukan?
"Hhhh..." Jingga menghembuskan nafasnya dengan wajah cemberut, "Tapi kan yang ngajak makan malam duluan kamu. Aku hanya nyaranin tempat." Jingga mengelak tuduhan langit.
"Kamu bukan sekedar nyaranin, tapi maksa ketemu di Gwenivere."
"Aku gak maksa!"
"Perlu aku putar ulang percakapan kita tadi sore?" Langit memasang wajah smirk-nya.
"Udah udah udah!! Aku gak mau jadi punya darah tinggi gara-gara ngeladenin omongan kamu. Langsung aja to the point, maksud dan tujuan kamu apa?" Jingga tampak mulai kesal dengan percakapan yang tak berbobot sama sekali ini.
"Tujuan aku tetap sama, kamu mau menjual tanah kamu itu." ucap Langit dengan mimik muka yang berubah serius.
"Kenapa sih kamu maksa banget?" jawab Jingga yang diikuti dengan datangnya pesanan mereka.
Langit tak menyangka makanan yang dipesan Jingga cukup banyak. Bagaimana bisa Jingga yang kurus seperti itu sanggup menghabiskan tiga jenis makanan yang dipesannya. "Kamu yakin bisa menghabiskan itu semua?" Langit masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya.
"Jangan berisik!"
Langit yang mendengar jawaban Jingga hanya bisa menggelengkan kepalanya dan mengeluarkan senyum kagumnya. Jingga selalu punya kejutan yang tak pernah Langit duga. Langit lalu mengikuti Jingga yang sudah mulai menikmati santap malamnya. Untuk hal yang satu ini Langit setuju dengan Jingga, menghabiskan makan malamnya terlebih dahulu baru melanjutkan obrolan yang tertunda.
"Jadi gini Jingga...." Langit mulai membuka percakapan setelah makanan dipiring mereka telah habis semua, "Aku perlu tanah itu untuk membangun rumah baca kecil-kecilan." sesungguhnya Langit tak tahu harus memulai menjelaskan dari mana, "Aku ikut sebuah komunitas untuk anak-anak kurang mampu yang berada pada pelosok daerah dan juga anak-anak marjinal, dan rencananya kita akan membangun rumah baca di beberapa daerah salah satunya didaerah bogor itu." Langit menyudahi penjelasan panjangnya dan harap-harap cemas dengan jawaban yang diberikan Jingga.
Jingga mendengarkan penjelasan Langit dengan cara seksama. Entah ia harus percaya atau tidak. Tapi dilihat dari gelagatnya dan juga sorot mata Langit tak tampak kebohongan yang dapat membuat Jingga ragu. Jingga tak menyangka dibalik sosok Langit yang terlihat kekinian dengan gaya berpakaiannya punya misi yang begitu menyentuh relung hatinya.
Jingga tak dapat menemukan respon yang sepadan dengan penjelasan Langit. Jingga bisa saja langsung mengiyakan penawaran Langit namun ia takut terkesan mudah luluh tapi kalau untuk menolaknya pun Jingga tak sanggup, apabila penjelasan Langit jujur adanya.
"Aku perlu penjelasan sedetai-detailnya. Kenapa kamu harus bangun rumah baca di Bogor dan lokasi tanah aku?" Jingga tak mau melewatkan satu informasi sedikitpun.
"Rencananya komunitas kami akan membangun 5 rumah baca salah satunya di Bogor itu. Kenapa aku pilih tanah kamu, ya sudah jelas karena tanah kamu bukan tanah rawa atau bekas sawah dan juga lokasinya yang berdekatan dengan sekolah dan rumah penduduk. Rumah baca akan lebih bermanfaat apabila berdekatan dengan rumah-rumah penduduk sehingga anak-anak dapat berkunjung setiap hari dan orang tua mereka pun tak perlu khawatir. Rumah baca juga berisikan kegiatan edukatif yang akan dilaksanakan setiap akhir pekan, jadi lokasi berperan sangat penting akan minat warga." Langit menarik nafas panjangnya akibat penjelasannya barusan.
"Ada donatur?" Jingga masih tampak agak ragu dengan pernyataan Langit.
"Ada beberapa, kita juga buka usaha kecil-kecilan lah.." Langit meremas tangannya sendiri, entah mengapa karena melihat tatapan Jingga yang ragu membuat ia cemas sendiri. "Kamu mau liat rumah baca?" Langit menawarkan ajakannya kepada Jingga
"Boleh?"
"Boleh dong! Apalagi kalau yang datang secantik kamu bisa heboh rumah baca." Langit terkekeh perlahan, ia tak menyangka bisa keceplosan berbicara seperti ini. Dan setelah melihat lirikan Jingga yang sangat tidak ramah, Langit menyesali ucapannya barusan, "Besok aku jemput gimana?"
"Gak usah! Aku bisa kesana sendiri!" Jingga menolak permintaan Langit dengan ketus. Berharap dengan sikap ketusnya bisa menyembunyikan rona pipinya yang kemerahan selagi dipuji. Ia tak menyangka Langit akan melancarkan aksi gombalnya seperti lelaki pada umumnya.
"Tapi kan kamu gak tau tempatnya. Pokoknya aku jemput di rumah kamu besok jam 10. Kamu sms-in aja alamat rumah kamu." Ujar Langit dengan tegas.
"Oke!" Jingga hanya bisa menganggukan kepalanya tanpa bisa membantah permintaan Langit.
*
*
*
Maaf ya kalau ceritaku makin gaje dan gak dapet feel-nya hehe.
Terimakasih juga buat yang setia baca ceritaku, hug and kisses :*
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit Jingga (Complete)
Lãng mạnCerita tentang Langit dan Jingga yang bertemu pada ruang waktu yang sama. Langit selalu menanti sang fajar, karena ia tahu bahwa nanti akan bertemu Jingga Langit-Jingga mohon vote dan komennya ya :*