Part 14

2K 152 0
                                    

Sebelum baca klik vote dulu yah :*

*

*

Bangunan yang ada didepannya saat ini belum sepenuhnya jadi. Masih ada beberapa bagian dinding yang baru di aci, belum di cat putih seperti kebanyakan dinding pada bangunan itu. Kusen-kusen pintu dan jendela sudah dipasang sebagian. Memang tak terdapat banyak pintu, karena bangunan ini hanya terdiri dari dapur, toilet, satu kamar, gudang dan sisanya dibiarkan menjadi ruang kosong yang tampak seperti aula sederhana.

Jingga tak menyangka, tanah yang semua menjadi miliknya kini sudah berpindah tangan. Dulu tanah ini yang akan jadi investasinya di masa depan untuk keluarganya. Tapi ia tak menyesal, karena apapun bentuknya ia sudah sangat senang membantu adik-adik di desa ini untuk mendapatkan haknya.

Ada yang tak berubah dari tanah kosong itu. Beberapa bagian masih dipertahankan untuk kebun bunganya. Memang bangunan sederhana rumah baca hanya memakai sebagian dari tanah kosong tersebut, dan entah disengaja atau tidak tanah yang terpakai ialah tanah dengan pohon-pohon pisang milik Pak Ujang. Sehingga taman bungan miliknya bisa dikatakan aman dari kerusakan.

Awalnya Jingga mengira tanah kosongnya akan digunakan semaksimal mungkin. Termasuk menghilangkan kebun bunganya. Namun ternyata, kebun bungannya tetap dipertahankan. Dengan bunga yang mulai bermekaran saat ini, kebun bunganya menambah cantik suasana rumah baca.

Jingga tak tahu hobi menanam bunganya muncul sejak kapan. Sepertinya sejak sisi melankolis dirinya mulai terkuak ke permukaan. Awalnya hanya bunga mawar dan melati yang ia tanam. Namun lama kelamaan ia menambah koleksinya dengan membeli bibit-bibit bunga yang menurut Jingga tampak indah dilihat.

Jingga tak paham benar jenis-jenis bunga. Ia hanya akan membeli bibit bunga yang bunganya tampak indah dipandangan matanya. Jadi jangan heran kalau kebun bunganya tampak berantakan, karena Jingga tidak menanam menurut spesies atau jenisnya.

"Nanti kamu bantuin pilih warna cat ya?" Suara Langit memecah lamunannya.

"Eh?"

"Gapapa kan? Aku gak perlu bayar jasa kamu?"

Tak ada jeda untuk Jingga menanggapi ucapan Langit karena dengan segera Langit melanjutkan perkataannya, "Eh aku bayarnya sama kencan aja gimana?"

"Itumah enak di kamu gak enak di aku dong!"

"Loh jelas kamu lebih untunglah bisa nge-date sama cowo se-ganteng aku haha." Disela-sela tawanya Langit meringis kesakitan karena cubitan Jingga di perutnya. "Haduh... ampun Ji, hahah."

"Sukurin!"

**

Hari sudah mulai beranjak petang. Semburat jingga sudah tampak dibatas horizon. Sudah seharian Jingga, Langit, Rora dan beberapa teman-teman komunitas lainnya berada di rumah baca untuk merapihkan beberapa perabotan.

Tadi siang rombongan teman-teman komunitas datang untuk melihat progres rumah baca disusul juga dengan satu truck yang membawa beberapa perabotan serta berkardus-kardus buku sumbangan dari para donatur.

Duduk sendirian menikmati matahari terbenam merupakan salah satu hal yang Jingga sukai. Jingga merasa saat matahari yang bersahaja tenggelam, maka saat itu juga sebuah kisah ikut terlepas terbawa matahari. Dan nantinya kisah baru akan dimulai seiring dengan terbitnya mentari esok hari.

Langit menghampiri Jingga yang tengah duduk sendirian di tempat yang sama ketika mereka bertemu untuk pertama kalinya. Kali ini Jingga tampak mempesona akibat dari pantulan sinar senja yang menerpa sebagian wajahnya. Ia duduk bersisian di sebelah Jingga. Ikut menikmati hari di saat petang.

Jingga menoleh ke arah samping kanannya terganggu oleh suara yang Langit ciptakan akibat duduk secara tiba-tiba disebelahnya. Lalu tak memperdulikan Langit, Jingga kembali menikmati senja dihadapannya.

"Jingga, kenapa nama kamu Jingga?"

Jingga mengernyitkan dahinya mendengar pertanyaan Langit. "Karena mama ku suka warna Jingga."

Langit menaikkan sebelah alisnya ke atas berharap mendapat jawaban yang lebih.

"Kata mama, Jingga adalah batas warna antara siang yang terang dan malam yang gelap. Entahlah..." Ucap Jingga sambil menaikan kedua bahunya.

"Jingga, kalau nanti suatu saat kamu butuh teman untuk menikmati senja jangan sungkan buat ajak aku Ji. Aku akan dengan sukarela nemenin kamu selama apapun senja itu."

"Yakin sukarela?"

"Ya.. paling-paling aku hanya minta imbalan kencan aja." Ucap Langit sambil terkekeh.

Mendengar ucapan Langit yang seperti itu, tangan Jingga sudah siap untuk mencubit Langit namun belum sempat melancarkan aksinya tangannya sudah lebih dulu ditarik oleh Langit. Sehingga sekarang wajahnya tepat dihadapan Langit.

Jingga yang tak menyangka akan berhadapan sedekat ini dengan Langit berusaha untuk melepas genggaman tangan Langit dan mundur menjauh. Namun lagi-lagi Langit membuatnya terkejut. Tanpa ia duga, Langit menyerahkan sesuatu dari tangannya yang bebas. Setangkai bunga mawar merah yang mekar sempurna.

Jingga terkejut sudah pasti. Dan ia juga bersiap untuk memarahi Langit karena memetik bunga mawar merahnya tanpa izin. Namun lagi-lagi Jingga tak bisa berbuat banyak. Tatkalah ia mendengar suara Langit yang selalu teduh.

"Jingga, kalau aku mau serius sama kamu boleh?"

*

*

Jangan lupa vote dan komennya ya :*

Langit Jingga (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang