Part 10

1.9K 146 5
                                    

sebelum baca vote dulu yuk! 

maafkan typo yah :*

*

*

Dua hari weekendnya benar-benar terkuras akibat menuruti segala permintaan Rora yang seakan baru keluar dari sangkarnya dan kembali melihat peradaban kota. Langit hanya bisa menggelengkan kepalanya saat Rora mengajaknya pergi ke wahana bermain dan memintannya mengunjungi istana boneka! Langit pun harus sabar mengikuti Rora yang bergerak kesana-kemari keluar masuk toko saat shopping di salah satu pusat perbelanjaan.

Jarum jam di ruangannya sudah menunjukkan waktu makan siang. Pekerjaannya agak ringan hari ini. Langit berniat untuk makan diluar kantor, selain bosan dengan menu kantin kantornya yang itu-itu saja kali ini ia juga sedang ingin makan ayam penyet di sebuah restoran tak jauh dari letak kantornya.

Mengingat-ingat letak restoran ayam penyet yang membuat cacing-cacing diperutnya kelabakan, ia jadi teringat Jingga. Kantor Jingga memang bersebelahan dengan restoran itu. Dan sepertinya sudah lama ia tak menghubungi Jingga setelah kesepakatan soal tanah itu.

Langit mencari-cari nama Jingga di daftar kontak telepon genggamnya. Tanpa ragu lalu menekan tombol panggil yang disambut dengan suara 'tut...tut...tut' dari telepon genggamnya. Lama langit menunggu suara Jingga menjawab panggilannya namun yang terdengar malah suara mesin operator telepon. Dua kali mencoba hasilnya tetap sama, tak ada jawaban hanya suara mesin operator.

Tak mau memusingkan terlalu lama, Langit bergegas keluar kantornya untuk makan siang. Mungkin ia akan sekalian mengunjungi Jingga di kantornya sebelum makan siang, atau syukur-syukur berpapasan dengan Jingga dipelataran kantor Jingga.

**

Langit memainkan telepon genggamnya sambil menunggu Jingga di lobi kantornya. Ia tadi sudah menanyakan Jingga di front office dan setelah dilakukan panggilan ke bagian divisinya Jingga sudah keluar ruangan sejak 5 menit yang lalu. Dan disinilah Langit menunggu Jingga sambil menatap awas setiap orang yang keluar dari lift.

"Jingga!" Langit akhirnya menemukan sosok Jingga yang berbalut rok cokelat sebetis dan blouse warna peach keluar dari lift bersama beberapa karyawan lainnya. Langit lalu menghampiri Jingga yang masih berdiri bersama teman-temannya.

Jingga tak menyangka Langit ada dihadapannya saat ini "Langit? Ngapain?"

"Telepon kamu mati? Aku telepon kok gak diangkat?"

"Ji, jadi ikut bareng kita ga?" ucap Ria teman satu divisi Jingga yang sedari tadi masih setia menunggunya dengan beberapa temannya yang lain.

Jingga yang bingung harus menjawab pertanyaan Langit atau Ria terlebih dahulu hanya bisa mengeluarkan gumaman, "Nggg..." belum sempat Jingga melanjutkan perkataannya Langit sudah menyelanya dengan pertanyaan baru. "Makan siang bareng aku?"

Anggukan Jingga menjadi tanda persetujuan oleh Langit dan juga penolakan untuk Ria dan kawan-kawan.

"Kamu ngapain disini?" Jingga masih butuh jawaban dari Langit, ini kedua kali ia menanyakan hal yang sama kepada Langit dan awas dan awas saja kalau dijawab dengan pertaanyaan kembali.

"Makan siang."

"Hah?! Cuma itu?" Jingga tak puas dengan jawaban Langit menghentikan langkahnya sejenak.

"Restoran ayam penyet disebelah kantor kamu enak, yuk!" Langit lalu menarik lengan Jingga agar kembali mengikutinya berjalan keluar gedung.

Jingga dan Langit menikmati makanannya dalam diam. Sedari tadi Langit sudah berusaha memecah keheningan dengan pertanyaan-pertanyaan yang ia lontarkan. Namun nampaknya lawan bicaranya sedang tidak dalam mode yang bagus karena hanya dijawab dengan anggukkan atau gelengan.

"Kamu kenapa sih dari tadi? Sakit Gigi?"

Jingga menggeleng mendengar petanyaan langit, "Engga."

"Terus?"

"Kenapa?"

Langit menghela nafasnya dengan berat, "Dari tadi aku ajak ngomong jawabnya singkat-singkat terus. Lagi gak mood?"

"Aku kan tadi lagi makan..." Jingga berusaha menyangkal dengan memberikan alasan.

"Sekarang kan lagi gak makan. Kamu kaya ngasih jarak buat aku." Langit mengutarakan pikirannya yang berkecamuk sedari tadi.

"Nggg... itu... ya biar gak ada yang marah kalau ngeliat kita sekarang." Jingga menjawab dengan terbata-bata berusaha mencari kosakata yang tepat mengapa ia menjaga jarak. Lagian alasannya sudah jelas bukan? Langit itu playboy.

Langit heran mendengar Jingga yang terbata-bata dan lebih heran lagi mendengar ucapan dari Jingga, "Memang siapa yang mau marah?"

"Coba kamu pikir aja sendiri!"

Langit makin tak mengerti dengan jawaban Jingga yang penuh tanda tanya. Kenapa ia harus memikirkannya sendiri, padahal sedari tadi ia tak merasa ada yang salah dengan dirinya. Kenapa sih wanita selalu penuh kode-kode terselubung. Padahal apa susahnya menjawab pertannyaannya dengan sebuah nama agar semuanya menjadi jelas.

Langit mengernyitkan dahinya berusaha untuk memikirkan sebuah nama yang berpotensi untuk marah, tapi ia menyerah. "Make it clear Jingga, maksud kamu tuh apa?"

"Aku gak mau menyakiti hati yang lain, Langit." Jingga beranjak dari kursinya, "Thanks makan siangnya." Jingga berbalik berjalan menjauh meninggalkan Langit yang masih dipenuhi oleh tanda tanya.

Langit membukatkan bibirnya sepeninggal Jingga. Ia benar-benar tidak paham. Siapa yang berpotensi marah dan tersakiti kalau ia hanya mengajak Jingga makan siang? Apa mungkin pamusaji lantaran ia tak mengajak makan bareng dimejanya?Pelanggan lain yang tak kebagian tempat duduk karena dirinya dan Jingga? Atau mungkin koki restoran yang merasa kerjanya menjadi lebih berat akibat pesanannya dan Jingga? Masa sih Jingga memikirkan hal-hal seperti itu? Itu kan memang tugas mereka... Gak mungkin kan?!

Pikirannya masih dilingkupi berbagai pertanyaan tapi toh ia tak bisa mengklarifikasi apapun karena menurutnya ia memang tidak salah. Langit lalu memanggil pramusaji untuk meminta tagihannya, membayarkannya lalu pergi meninggalkan restoran seorang diri.

Wanita memang penuh misteri. 


*

*

*

Thank you for reading! maaf kalau pendek dan makin gak nyambung hehe.

Hug and kisses :*

Langit Jingga (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang