Part 3

2.8K 198 3
                                    

Jingga terkejut oleh suara seorang pria yang sekarang sedang berada didepannya. Membuyarkan semua lamunannya akan masa lalu.

"Hai." Ulang pria didepannya

"Ngapain kamu disini?" Jingga berhasil melewati keterkejutannya setelah mendengar sapaan kedua dari pria ini.

"Galak banget! Aku kan juga mau makan siang disini."

"Kenapa harus duduk satu meja denganku?"

"Jadi ga boleh? Oke!" Namun pria dihadapannya tak kunjung beranjak dari kursi didepannya. Ia malah mengangkat tangannya untuk memanggil pelayan restoran.

"Kamu udah pesan makan?"

"Belum."

"Mau pesan apa?"

"Terserah kamu!"

"Hmmm... Beef Fettucini 2, Iced lemon tea 2. Cukup?" tanyanya kepada Jingga yang hanya dibalas Jingga dengan menaikkan satu alisnya. Disusul dengan perginya pelayan setelah mencatat pesanan mereka.

"Kamu ngapain sih?" Ucap Jingga yang tak rela jam makan siangnya diusik oleh pria ini.

"Loh kan tadi aku udah bilang. Aku mau makan siang disini."

"Yaa.. tapi kenapa kamu harus duduk disini?"

"Bangku ini kan kosong. Kamu sendiri, aku sendiri jadi gak ada yang salah kan?"

"Kata siapa aku sendiri?"

"Dari saat kamu masuk ke dalam restoran ini sampai sekarang gak ada tanda-tandanya kalau kamu datang berdua, bertiga, berempat atau berame-rame."

Jingga mengerlingkan bola matanya, tak ingin memperpanjang perdebatannya. Dalam hatinya ia kesal. Ia kesal karena harus membenarkan pernyataan pria itu. Ia memang datang seorang diri ke restoran ini dan tidak sedang menunggu siapapapun.

"So.. jadi bagaimana penawaranku?"

"Dengar ya Langit...harus berapa kali aku kasih tau kamu, aku gak akan jual tanah itu!"

"Daripada tanah itu tidak berguna, lebih baik kamu jual saja ke aku. Akan lebih bermanfaat."

"Pede banget kamu! Pokoknya sekali tidak tetap tidak." Jingga tak mau dibantah. Ia akan selalu tetap pada pendiriannya.

Tak lama kemudian, seorang pelayang datang membawa pesanan mereka. Langit dan Jingga makan tanpa bersuara. Hanyut dalam suara sendok dan garpu mereka serta alunan musik dari pengeras suara di restoran itu.

Jingga mengabiskan iced lemon tea nya dengan segera. Beef fettucininya sudah habis tak bersisa. Salahkan perut ini yang selalu tak rela jika ada makanan seenak ini tidak dihabiskan dan juga salahkan Langit kenapa ia tahu kalau menu favoritnya disini ialah beef fettucini.

Jingga membereskan tas kerjanya dan bersiap-siap untuk segera beranjak dari hadapan Langit. Namun saat akan meninggalkan mejanya ia bertatapan dengan orang yang sedari tadi memenuhi pikirannya. Hamid.

"Jingga kan? Apa kabar?" Hamid langsung menghampiri Jingga sehingga Jingga tak dapat bergerak menghindar lagi.

Jingga tak suka situasi ini. Bagaimana bisa Hamid menyapanya seakan tak pernah ada kejadian luar biasa diantara mereka. Bagaimana bisa Hamid muncul dihadapannya dengan raut muka bersahabat tanpa rasa bersalah sedikit pun.

Jingga memicingkan matanya menatap pria didepannya. Ia langsung berbalik badan dan bersiap mengambil langkah seribu. Bukannya ia menghindar dari masalah, tapi ia tak mau mebuat keributan kecil di restoran ini dan berpotensi menjadi santapan para pengunjung lain. Baru selangkah kakinya beranjak, tiba-tiba tangannya ditarik oleh seseorang.

"Kenapa Jingga?"

"Kenapa kamu bilang?! Kamu tiba-tiba muncul dihidupku tanpa raut muka bersalah. Udahlah, Ham aku gak mau menimbulkan keributan disini. Sekarang lepaskan aku, dan biarkan aku pergi." Jingga menyentakkan tangannya dari cengkeraman Hamid dan terlepas begitu saja.

"Jingga, aku minta maaf untuk kesalahanku yang dulu. Dulu aku dibutakan oleh cinta, aku masih labil tidak bisa..." belum sempat Hamid menyelesaikan kalimatnya Jingga sudah memotongnya.

"Kamu dibutakan cinta, tapi tanpa sadar sudah membuat aku juga dibutakan oleh cinta! Cinta yang ternyata palsu! Dulu, aku nunggu kamu minta maaf ke aku, mengakui semua kesalahan kamu tapi ternyata tak pernah terjadi."

"Aku minta maaf Jingga..."

"Aku sudah memaafkan kamu, tapi sakit itu masih membekas jadi tolong jangan dulu muncul dihadapanku untuk saat ini." Hamid tertunduk lesu mendegar ucapan Jingga.

Saat Jingga ingin berlalu, Langit dengan segera menggenggam tangannya.

"Man, kau dengarkan apa kata Jingga, jadi kumohon jangan ganggu hidup Jingga lagi mulai saat ini." Langit mengucapkan kalimat itu dengan tegas dan lugas. Lalu membawa Jingga pergi dari situ dengan tetap menggenggam tangannya.

Langit tak tau keberaniannya berasal darimana, tiba-tiba saja ia ingin menjauhkan lelaki itu dari Jingga. Dengan instingnya ia lalu menggenggam tangan Jingga, dan membawanya pergi berlalu menuju lapangan parkir mobilnya. Sebelum menuju lapangan parkir, Langit menghampiri kasir restoran dan membayar makanan mereka tadi.

"Thanks." Ucap Jingga setelah mereka sudah berada di lapangan parkir dan hanya dibalas senyuman oleh Langit.

Jingga yang sedang kacau bertambah kacau lagi saat Langit memberikan senyumannya. Perpaduan manik mata hitamnya dengan senyumannya sungguh membuat ia terpesona.

Langit melihat wajah Jingga yang bersemu merah. Sungguh pemandangan yang menarik melihat Jingga seperti sekarang ini. Karena biasanya ia akan bersikap angkuh. Langit tak tau yang membuat Jingga bersemu merah apakah karena kemarahannya tadi kepada lelaki bernama Hamid atau kepada dirinnya yang baru memberikan senyuman tulus kepadanya.

"Aku antar?"

"Tidak usah, aku bawa mobil sendiri."

"Dimana mobilmu? Ayo aku antar ke mobilmu."

"Tidak usah.." Jingga masih berusaha menolak ajakan Langit.

"Ayo!" Langit lalu menggenggam tangan Jingga kembali dan mengikuti arahan yang diberikan Jingga.

Entah perasaan apa yang melingkupi Langit tapi Langit sangat suka menggenggam tangan Jingga. Tangan Jingga halus dan mungil. Sangat pas berada dalam genggamannya.

"Sudah." Jingga melepaskan tangannya dari genggaman Langit. Ia meruntuki kebodohannya yang terlena oleh genggaman tangan Langit.

"Hati-hati di jalan Jingga." Ucap Langit lalu berbalik menjauhi Jingga. Belum jauh Langit dari pandangan Jingga tiba-tiba ia berbalik. "Urusan kita belum selesai Jingga!" Ucapnya.

"Yaa! Hati-hati Langit!" Jingga tak dapat memikirkan jawaban terbaik untuk membalas perkataan Langit.

Jingga mulai memacu mobilnya. Lalu ia teringat akan ucapan Langit yang mengatakan urusan mereka belum selesai. Urusan apa? Jingga mengingat-ingat kejadian tadi. Bodoh! Tentu saja urusan tawar-menawar tanah belum selesai. Lagi-lagi Jingga meruntuki kebodohannya. 


.

.

.

.

.

Jangan lupa vote and comment-nya yaa! enjoy my story, hug and kisses :*

Langit Jingga (Complete)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang