1

241 15 2
                                    

"Menyatakan bahwa TERDAKWA terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana pemerkosaan," ucap Hakim Reduk sembari mengetuk palu sidangnya.

Ruangan itu hening sesaat. Hakim sedang menyidangkan salah satu kasus. Tahun ini mencapai ratusan kasus yang ditanganinya.

Namanya Reduk. Seorang hakim di pengadilan itu. Reduk terkenal sebagai hakim dan peramal handal. Dia memprediksi kasus amoral akan terjadi besar-besaran. Tapi akan ada seorang ksatria yang berusaha mencegahnya.

Reduk tiap hari melewati rumahku.

Dia sering mendengarku sedang ngobrol dengan orang tuaku. Bukan hanya melewati rumahku. Tetapi hakim Reduk adalah tetangga di desaku.

Hakim Reduk mendengar suaraku. Saat itu aku sedang menolak bujukan orang tuaku masuk ke pondok pesantren.

"Tidak. Tidak, pak. Aku nggak mau jadi anak pondok pesantren. Aku mau jadi mahasiswa di Jepang jika sudah besar nanti."

Orangtuaku ingin ada penerus pondok pesantren. Karena aku adalah anak satu-satunya di keluargaku.

Bapak mendirikan pesantren itu sejak 23 tahun silam. Bapak tak mau pesantren yang telah berkembang dan dibesarkan menjadi tidak produktif karena tidak memiliki regenerasi. Saat itu aku telah selesai sekolah dasar (SD).

Aku masih tinggal bersama orangtua di komplek pondok pesantren milik orangtuaku.

Setiap hari orangtuaku membujuk untuk melanjutkan pendidikan di sekolah berbasis Islam. Salah satu pilihan di pondok pesantren milik temannya di Pulau Jawa. Dengan harapan, aku bisa membawa ilmu yang lebih banyak untuk mengembangkan pesantren bapak di kemudian hari.

RUANG 7 x 5 meter itu selalu dipenuhi dengan suara negosiasi antara aku dan orang tuaku. Kadang terdengar suara saat aku menangis menolak bujukan orangtua.

Aku khawatir tak bisa mencapai cita-citaku kuliah di Jepang. Itulah sebabnya aku selalu menolak permintaan orangtuaku.

Bapak tetap membujuk untuk masuk pesantren. Bapak juga mengatakan kalau di pesantren itu tidak seperti yang aku bayangkan. Berbeda dengan apa yang kulihat selama ini.

"Menjadi anak pondok itu tak seberat yang kamu pikirkan, Embun. Bisa-bisa kamu sekarang menolak, tapi setelah merasakan kehidupan pondok kamu enggak mau kembali lagi." Bapak bicara serius duduk di sofa.

Aku tetap pada pendirianku. Selalu menolak.

Memang kata teman-temanku aku orang yang keras kepala. Aku tetap menolak permintaan bapak.

"Tidak, Pak. Aku ingin ke sekolah umum. Aku ingin ke Jepang jika telah tamat nanti."

Waktu itu, aku masih berumur 13 tahun. Jauh sebelumnya memang aku sudah mulai menyukai Jepang. Awalnya guru sekolah selalu menceritakan tentang Jepang. Lama-kelamaan aku jadi penasaran seperti apa Jepang itu. Kadang juga mengatakan kalau aku mirip seperti perempuan Jepang yang cantik.

Hanya saja hidungnya yang tak mirip denganku. Aku memiliki hidung pesek. Tapi kata ibuku aku gadis yang cantik. Setiap akhir pelajaran, selalu cerita tentang Jepang. Tentang teknologi, budaya, pariwisata, juga yang membuatku penasaran tentang sakura.

Aku selalu memikirkan tentang sakura.

Dalam benakku selalu bertanya. Bagaimana bentuk dan model sakura itu. Atau hanya seperti yang biasa kulihat. Atau berbeda. Memang aku sudah pernah melihat sakura. Aku sering juga membelinya. Kebetulan di depan rumah ada orang yang menjual barang-barang kelontong.

Biasanya, aku membeli sakura itu ketika pulang sekolah. Bahkan gara-gara itu sering aku dimarahi ibu. Kata ibu, kalau makan sakura itu bikin bodoh, otak jadi lemot, dan tidak bisa berpikir jernih. Bahan kimia terlalu banyak. Tak baik untuk kesehatan.

Pergi Yang Dirindukan (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang