10

40 8 0
                                    

DUA tahun telah berlalu. Aku belum melihat wajah Hari. Waktu semakin membunuhku. Tak sedetik pun tersisih untuk Hari memberi kabar tentangnya.

Pihak sekolah sering membicarakannya. Begitu juga dengan pesantren. Setiap minggu pasti namanya disebut-sebut.

Biasanya, setiap pagi Hari selalu setia membangunkan seluruh santri dengan bel yang berpusat di kamarnya. Suasana pesantren sudah tak seperti biasa. Meskipun posisi Hari sudah digantikan oleh santri yang lain. Tapi kenangan masih tetap dikenang oleh santri yang ada.

Terlihat ayam-ayam berkeliaran di halaman. Mematuk dan mengorek tanah dengan semangatnya. Kadang terlihat induknya mencarikan cacing untuk dimakan anaknya.

Saat itu, suasana sunyi ditengah keramaian pesantren terus berlanjut. Santri-santri sibuk dengan sendirinya. Aku tak bisa fokus dengan itu. Sering melamun.

Aku bersandar di kursi bawah pohon halaman itu. Terus memandangi ayam-ayam itu.

Kondisi Pak Kiai kini sudah menua seiring umurnya yang tak lagi muda. Sering sakit-sakitan sejak kepergian Hari. Sedangkan aku sudah menjadi pelajar MA di tempat sekolahnya Hari.

Kami sudah sibuk menjadi pengurus organisasi ekstrakurikuler. Aku terpilih menjadi pengurus Japan Community. Sedangkan Nami menjadi pengurus marching Band. Kami berdua memiliki kesibukan berbeda. Tapi dengan tujuan yang sama.

Kegiatan Japan Community dan Marching Band diadakan oleh pemerintah. Kami latihan gabungan setiap akhir pekan di stadion megah milik pemerintah itu.

Pemerintah mewajibkan seluruh Sekolah Menengah Atas (SMA) atau sederajat untuk mendelegasikan siswa terbaiknya. Aku dan Nami terpilih mewakili MA pesantren untuk mengikuti event besar pemerintah itu.

Pelatih pun berkali-kali mendatangi sekolahku.

"Japan Community itu apa, Pak?" aku menanyakan kepada salah satu pelatih yang dikirim pemerintah itu.

Memang aku belum mengerti saat itu. Apa itu Japan Community. Aku masih bingung apa yang akan dilakukan. Atau hanya sekedar perkumpulan Jepang. Aku tak tahu. Tapi aku senang walaupun belum jelas apa itu Japan Community.

Aku hanya berpikir tentang Jepang. Makanya sangat senang meskipun masih sekedar namanya. Kata Jepang sudah menyulap ingatanku. Sakura masih tersimpan rapat dalam memoriku.

"Yes, aku akan ke Jepang," gumamku dalam hati.

Berbeda dengan Nami yang sudah pernah menjadi anggota Marching Band. Dia sejak TK sudah mengerti Marching Band. Bukan hanya mengerti. Bahkan sudah lihai dalam memainkannya.

Nami jelas terpilih karena pengalamannya. Sedangkan aku masih geleng-geleng kepala. Mungkin hanya aku yang belum mengerti tentang Japan Community. Aku hanya sebatas menyukai Jepang.

"Japan Community adalah perkumpulan Jepang. Dimana perkumpulan ini menjadi perkumpulan terbesar di seluruh dunia. Tugas komunitas ini untuk menyambut kepala negara dari seluruh dunia pada acara Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) atau biasa disebut sebagai World Humanitarian Summit (WHS) nanti," pelatih Japan Community menjelaskan.

Aku melongo sambil geleng-geleng kepala.

"Menyambut kepala negara?" tanyaku.

"Iya menyambut kepala negara dunia. Tapi kamu khusus untuk kepala negara Jepang. Jadi selain menyambutnya. Kamu juga bertugas untuk menjadi penerjemah bahasanya," jawabnya.

Aku ragu. Dan sikapku langsung berubah drastis.

"Anggota Japan Community yang mengikuti event ini hanya dua orang. Salah satunya kamu yang kami pilih," pelatih itu melanjutkan pembicaraannya.

Pergi Yang Dirindukan (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang