8

46 7 1
                                    

TIGA tahun lamanya aku bersama Nami berada di pondok pesantren itu. Tak terasa sebentar lagi sudah menjadi pelajar MA. Setiap pojok pondok sudah di ketahui. Termasuk tempat bersembunyi santri saat bolos sekolah dan mengaji.

Masa remajaku dihabiskan di kehidupan pondok pesantren itu. Aku tak menyesal. Bahkan berterimakasih kepada orang tuaku yang berusaha untuk mengantarku ke tempat itu. Tempat menuju surga, karena setiap hari diajarkan bagaimana caranya berbakti kepada orangtua, kepada bangsa dan negara.

Aku selalu bergelut dengan buku, al-quran, dan hadist-hadist. Buku fiqih menjadi andalanku. Kitab kuning menjadi targetku. Pergi ke Jepang menjadi harapanku.

Panggilan ustadzah dan ukhti sudah tak asing bagi kami. Setiap saat orang memanggil kami dengan sebutan itu. Itulah indahnya pondok pesantren.

"Embun, tolong siapkan cenderamata untuk lulusan terbaik di acara wisuda besok ya!" ketua Panitia wisuda menyuruhku.

Aku berdiri di depannya. Mendengarkan apa yang dikatakan Ketua Panitia.

"Selain itu, kalau ada yang kurang segera kasih tahu aku ya, Embun," lanjut Ketua Panitia itu sembari meninggalkan lokasi.

Wisuada itu menandakan akan ada pergantian generasi. Hari akan segera meninggalkan pesantren. Dia hanya menunggu waktu wisuda lagi. Setelah itu, mungkin aku tak bisa bertemu lagi bersamanya.

Aku belum tahu Hari akan kemana setelah wisuda. Pulang kampung atau melanjutkan kuliah. Aku tak tahu. Kebetulan, dalam acara wisudanya aku terpilih menjadi salah satu anggota panitia.

"Oh iya, Akhi. Nanti akan aku kasih tahu yang kurang," jawabku singkat.

Cendera mata telah ku siapkan untuk lulusan terbaik. Aku mengantarnya ke ruangan Pak Kiai. Supaya aman dan tidak ada yang mengganggunya. Cendera mata itu sungguh menawan dan berkilau.

Aku menemukan Pak Kiai sedang ngobrol sama Bu Nyai.

"Alhamdulillah Ummi. Ternyata perjuangan Hari selama ini berbuah manis," kata Pak Kiai pada Bu Nyai.

Aku masih di pintu rumah Pak Kiai. Tapi aku mendengar jelas ucapan mereka. Aku menunggu selesai pembicaraan Pak Kiai.

"Semoga saja Hari bisa betah di Spanyol. Karena nggak banyak orang dari daerah kita yang disana," sambung Bu Nyai.

Obrolan Pak Kiai dengan Bu Nyai terus berlanjut. Sudah beberapa menit aku menunggunya. Ternyata belum selesai juga. Aku tetap mengikuti perbincangan dari luar rumah.

Karena lamanya. Aku sudah tak kuat menunggu di luar rumah. Tapi inti dari obrolan Pak Kiai adalah Hari mendapat beasiswa luar negeri. Hanya itu kesimpulan yang dapat kutangkap dari Pak Kiai dengan Bu Nyai.

Aku masuk ke rumah Pak Kiai, "Assalamu'alaikum."

"Simpan di mana cendera mata ini, Pak Kiai?" tanyaku.

Aku masih memegang cendera mata itu.

"Di sana saja, Embun," jawab Pak Kiai sambil menunjuk ke arah yang disuruhnya.

Aku kembali ke panggung menata perlengkapan dekorasi. Pikiranku sudah tak bisa dikontrol. Emosiku naik turun setelah mendengar Hari akan ke Spanyol. Aku berpikir, apa yang menjadi kecemasan hatiku ternyata menjadi kenyataan.

Mestinya aku bahagia mendengar Hari dapat beasiswa ke luar negeri. Kenyataannya aku tak bahagia. Sebenarnya hanya satu yang membuatku tak bahagia. Aku takut kehilangan.

Memang aku belum pernah mendengar langsung dari Hari tentang beasiswa ke Spanyol. Aku hanya mendengar dari obrolan Pak Kiai dengan Bu Nyai. Pihak pondok pesantren juga belum mengumumkan secara resmi. Tetapi obrolan Pak Kiai sudah melebihi pengumuman resmi pesantren. Karena segala sumber informasi dan kebijakan pesantren ada di tangannya. Jadi sudah jelas kalau Hari lulus ke luar negeri.

Pergi Yang Dirindukan (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang