19

27 8 0
                                    

HIDUP di pondok pesantren sudah tak seperti biasanya. Ramai dan selalu dikelilingi oleh orang-orang hebat. Kini semua sudah berbeda. Tanpa Pak Kiai dan Hari. Sepi dalam keramaian adalah yang dirasakan Nami.

Hening dalam setiap lamunan banyang semu. Suara berisik tak bisa didengar dengan sempurna. Hayalan dalam penyesalan terus menggerogoti dirinya.

Nami merasa bersalah kepada aku. Meskipun sebenarnya bukan Nami yang patut disalahkan. Tapi Hari. Dia yang menjadi sumber masalah. Hari tidak memberitahu Nami kalau dia memberi kejutan melalui foto-foto itu.

Foto itu masih disimpannya dengan rapi. Aku tak tahu lagi keberadaan foto tersebut. Tapi Nami menyembunyikan di tempat yang sangat rahasia.

Hanya Nami sendiri yang mengetahuinya. Tujuannya untuk meminta penjelasan kepada Hari jika bertemu kembali. Aku juga merasakan hal yang sama. Merasa sepi tanpa keberadaan Nami disamping aku. Biasanya, hanya Nami yang menjadi tempat curhatanku.

Wanita pertama yang bersedia mendengarkan setiap keluh kesahku di pondok. Kini kami sudah berjauhan. Tak saling tegur. Lantaran kesalahpahaman yang disebabkan seorang lelaki.

Kami berdua seperti tak pernah saling kenal. Kehidupanku berjalan dengan sendirinya. Begitu juga dengan Nami yang sibuk mengurus persiapan kuliahnya.

Kehidupan sekolah kami sudah berakhir. Waktu tinggal kami di pondok pesantren tinggal menghitung hari. Tidak lama lagi kami kami akan meninggalkan jejak. Kami akan segera menuju kehidupan selanjutnya.

Aku dan Kelamun akan pergi ke Jepang. Kami berdua dijanjikan orang tua Kelamun kuliah di luar negeri.

Keluarga Kelamun memberikan harapan besar kepada kami. Hingga aku terlena dengan tawaran keluarganya. Tak bisa menolak karena manisnya janji yang aku dapatkan.

Mimpi terbesarku pergi ke Jepang. Impianku sudah di depan mata untuk menembus negeri sakura. Impian ini sudah gagal sekali. Pertama, ketika aku mendapat hadiah pada acara KTT ke Jepang.

Aku gagal pergi karena bekas operasi kambuh. Bunga sakura hanya menjadi bayangan semu dalam hidup ku.

Teknologi canggih yang ingin dipelajari hanya menjadi bumerang dalam perjalanan hidup ku. Siapa sangka, jika aku mendapat kesempatan kedua kalinya untuk pergi ke Jepang.

Kesempatan kedua itu datang dari keluarga Kelamun. Keluarga suadagar, kaya raya, berlimpah harta dan permata. Tak ada yang sanggup menyaingi kekayaannya. Apalagi sampai mencederai hatinya lantaran bertaruh harta.

Semua akan dibayarnya dengan limpahan perhiasan dan permata. Rayuan hanya soal biasa yang tak perlu diumbar. Apalagi untuk mendapatkan seseorang yang mereka butuhkan. Gampang sekali.

Aku mendapat kepastian dari Kelamun, "Embun, kita akan segera pergi ke Jepang. Orangtuaku menyiapkan tempat tinggal untuk kamu."

Entah apa yang ada di pikiranku saat itu. Aku tak langsung merespon Kelamun. Tidak tersenyum melihatnya. Bermuka datar, seperti tak mendengar kalimat yang diucapkan Kelamun.

Tak seperti biasanya. Jika mendengar kata Jepang langsung tersenyum lebar. Apalagi mendapat hadiah gratis ke Jepang. Itu adalah setengah dari surga dunia kehidupan ku.

Kali ini, sungguh berbeda dengan sebelumnya. Aku tak merasakan bahagia dengan hadiah itu. Tidak juga merasa istimewa. Biasa saja.

Jika aku menolak hadiah yang diberikan keluarga Kelamun tak mungkin dilakukan. Aku tak mungkin menyakiti orangtua Kelamun. Apalagi mencampakkan hadiah pendidikan yang aku terima.

Aku serba salah saat itu. Diterima menjadi beban. Tak diterima menjadi masalah. Begitulah posisiku dalam mendapat hadiah itu.

Aku bukan hanya memikirkan tentang janji. Tapi memikirkan tentang ketegangan hubungan dengan Nami. Hidupku seperti tak berarti lagi meskipun kini sebagian dari cita-citaku sudah di depan mata.

Pergi Yang Dirindukan (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang