AKU sudah dua tahun tinggal dan sekolah di pesantren itu. Temanku yang dulunya hanya Nami, kini telah bertambah dari santri lain. Kehidupan pesantren sudah berubah. Sudah tak ada jarak antara aku dengan teman-teman. Semua sudah sama di mataku.
Tapi dari sederet teman-teman baru. Memang hanya Nami yang benar-benar menjadi sahabat sejati. Dia yang mampu menjadi teman disaat susah dan senang.
Menurutku, teman belum tentu seorang sahabat. Tetapi seorang sahabat sudah pasti menjadi seorang teman. Kami juga sering diam-diaman. Bahkan sering tak saling menyapa. Lucunya, diam-diaman yang kami lakukan hanya sebentar saja. Tak pernah sampai dua jam. Setelah itu kembali seperti biasa. Bercanda dan melupakan kesalahan masing-masing.
Dalam persahabatan memang tak terlepas dari pertengkaran, kesalahpahaman, dan memaksakan ego. Tetapi dalam persahabatan, semua itu adalah bumbu yang menyedapkan rasa. Wajar, karena tak ada manusia yang sempurna. Tapi persahabatan mampu menyempurnakan pertemanan.
Kehadiran Nami di sisiku merupakan suatu anugerah terindah dari Tuhan. Menurutku, Nami adalah petunjuk Tuhan dalam menetapkan kegelisahan hatiku yang sedang dilanda badai galau pendidikan. Sejak bersamanya, kehidupan menjadi terang. Mimpi yang aku tanamkan menjadi cahaya setiap cerita bersamanya. Selalu memberi semangat, tak pernah menyakitkan hati.
Saat itu, kami berdua telah duduk di akhir semester dua kelas dua MTs. Itu artinya, kami akan segera melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi lagi. Kelas terakhir di sekolah MTs. Tak terasa kami sudah sampai menuju ujian semester akhir. Ujian untuk menentukan kelulusan kami dari sekolah itu.
Ujian itu menentukan masa depan untuk melanjutkan ke sekolah yang lebih tinggi lagi. Perasaan khawatir terus menghantui. Pikiran negatif tak bisa mendapat nilai baik juga menyelimuti.
Begitu juga dengan Hari. Saat itu sedang ujian akhir di kelas tiga MA. Ujian terakhir di jenjang pendidikan atas. Sebentar lagi, Hari akan kuliah untuk menuju kampus favorit. Jika Hari diterima di sebuah kampus terbaik adalah hal yang biasa. Karena dia memiliki berbagai prestasi. Berbeda dengan aku, pergi sekolah saja sudah syukur.
***
KALA itu, aku mengalami kesulitan dalam sebuah pelajaran dari sekolah. Aku bingung mau bertanya sama siapa. Nami yang menjadi teman sekelas ternyata tak mengerti tentang pelajaran.
Bahkan, Nami berencana mau menanyakan kepadaku. Padahal, kecerdasan Nami diperhitungkan di sekolah. Tapi untuk pelajaran yang satu itu, Nami pun tak sanggup mengerjakannya.
"Nami, kamu bisa bantuin aku nggak?" kataku kepada Nami yang saat itu sedang membaca buku.
"Bantuin apaan, Embun. Serius amat?" jawabnya penasaran.
"Bantuin mak comblangin sama Mas Hari, ya?" lanjutnya sambil tertawa.
"Ih, apaan sih Nami ini," jawabku kesal.
Nami ketawa terbahak-bahak.
Sementara aku malu dalam hatiku. Karena aku tak pernah tahu kalau Hari menyukai. Aku hanya tahu kalau Hari menyukai Nami. Bukan aku. Tapi malah aku yang menjadi bahan ledekan.
Aku melanjutkan pertanyaan kepada Nami sambil menunjukkan buku catatan milikku.
"Ini lho, Nami. Pelajaran kita yang tadi. Bantuin aku mengerjakannya dong. Kamu kan pintar," aku memberikan buku sambil merayu.
"Ajarin aku dong. Aku belum paham nih," kataku lagi.
Nami juga belum paham pelajaran itu. Kami berdua bingung mau menanyakan siapa lagi. Tugas itu harus segera dikumpulkan. Aku pusing. Begitu juga dengan Nami yang terus memutar otak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Pergi Yang Dirindukan (REVISI)
Teen Fiction《| Amazing cover by: Fauzi Ade Firdaus |》 Siapa yang akan mendapatkan Embun? Hari atau Kelamun. Atau tidak kedua-duanya. Lalu bagaimana nasib Nami yang selalu makan hati ketika melihat Embun bermesraan dengan Hari. Lalu bagaimana dengan cita-cita Em...