2

104 10 1
                                    

KAMI masih tidur di dalam mobil. ''Bangun-bangun. Kita sudah sampai," bapak membangunkan kami dari dalam mobil.

Pagi itu cuaca sangat cerah. Waktu menunjukkan pukul 09.00 pagi.

Suasana pesantren terlihat ramai. Ada yang berlari-lari, ada juga yang sedang membersihkan halaman. Kebetulan kami sampai di pesantren pada hari Minggu. Para santri memiliki jadwal olahraga dan bersih-bersih. Kegiatan seperti itu sudah menjadi kebiasaan mereka di pesantren saat menyambut akhir pekan.

Aku bersama ibu siap-siap keluar mobil.

Sedangkan bapak sudah berdiri di depan pintu mobil. Lalu aku keluar dengan muka yang masih mengantuk. Aku menguap. Aku bersandar manja ke pundak bapak.

"aachhhh....." aku menguap panjang.

"Pegal semua badanku, pak," aku merebahkan kepala ke pundak bapak.

Memang aku sudah biasa manja pada bapak. Setiap pulang sekolah pasti aku mencari bapak terlebih dulu. Jarang mencari ibu. Hanya sesekali aku mencari ibu. Begitu juga dengan bapak selalu aku yang dicari terlebih dulu.

Bapak tersenyum. Aku langsung diajak masuk ke komplek pesantren.

Saat kami di pintu gerbang, ternyata sudah ada santri yang menunggu kami. Santri itu menghampiri kami. Dia menyuruh kami masuk dan dibimbing hingga sampai di rumah Pak Kiai.

Disapa santri yang menunggu kami di depan pintu gerbang. ''Assalamualaikum, om, tante, mbak."

Aku beserta orang tuaku menjawab serentak.

"Waalaikum Salam."

Kemudian pemuda itu mengajak kami menuju rumah Pak Kiai. Sambil berjalan kaki menuju rumah Pak Kiai, pemuda itu menjelaskan panjang lebar tentang sistem penerimaan tamu. Ternyata, pesantren itu memiliki cara tersendiri untuk menyambut tamunya.

Pemuda itu menceritakan sistem penerimaan tamu di pondok pesantren itu.

"Jika tamu yang datang sudah saling kenal dengan Pak Kiai. Maka yang menjemputnya dari pintu gerbang seorang santri. Jika tamu yang datang belum kenal Pak Kiai. Maka yang menjemputnya Pak Kiai atau salah satu dari keluarganya."

Menurut Pak Kiai, kata pemuda itu, sistem tersebut untuk meningkatkan jaringan silaturahmi. Jika yang bertemu belum saling kenal, maka bisa dipastikan akan saling mengenal dengan cara tersebut. Karena tamu dengan yang dikunjungi akan terpaksa berkomunikasi. Melalui sistem itu akan menemukan saudara baru. Begitu juga dengan yang sudah mengenal Pak Kiai. Jika sebelumnya sudah mengenal Pak Kiai, maka selanjutnya harus mengenal santri juga.

"Silakan masuk, pak. Pak Kiai ada di dalam menunggu bapak dan ibu, mbak," pemuda itu menyuruh kami masuk ke rumah Pak Kiai.

Kami tiba di ruangan Pak Kiai.

Sedangkan pemuda itu langsung pamit kepada kami dan Pak Kiai. Dia bergegas pergi, langsung menuju asrama tempat tinggalnya.

"Pemuda itu namanya Hari. Dia sudah setahun membantu saya untuk mengajar di sini. Anaknya pintar, jujur, dan sangat sederhana," Pak Kiai memberitahu dengan suara khasnya.

"Monggo, monggo, pinarak," Pak Kiai mempersilakan kami duduk di sofa ruang tamunya.

Orang tuaku langsung duduk di sofa ruangan Pak Kiai.

"Kenapa ada pemuda ganteng di pesantren ini. Apakah dia nggak tahu dunia luar. Ganteng-ganteng kok masuk pesantren. Sungguh nggak adil dunia ini. Mungkin pemuda itu tidak tahu Jepang kali," gumam dalam hati sambil melihat ke arahnya.

Aku terus mencuri pandangan kepada pemuda itu. Pemuda itu berjalan dengan santai menuju tempat tinggalnya di asrama pondok pesantren itu.

Aku masih berdiri di dekat pintu ruang tamu.

Pergi Yang Dirindukan (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang