14

29 6 0
                                    

HARI sudah kembali ke Spanyol beberapa minggu yang lalu. Dia banyak berpesan kepadaku. Salah satunya menyuruh untuk menunggunya kembali.

Dia akan pulang beberapa tahun lagi untuk menikah dengan aku. Setelah itu kami berdua akan pergi ke Jepang bersama.

Hari berjanji akan pulang, "Embun. Aku akan pulang secepatnya untuk menikah dengan kamu. Kita akan melangsungkan pernikahan kita di Jepang. Tempat yang sangat kamu sukai."

Hari berjanji akan membawaku ke Jepang. Pak Tiyo sudah di Ibu Kota. Dia meminta aku dan Nami menyusulnya. Katanya kami berdua melakukan pelanggaran waktu acara KTT.

Kami disuruh segera sampai disana untuk menyelesaikan permasalahan itu. Tak ada waktu lagi untuk besok. Kami harus segera berangkat.

Tak peduli kami akan naik apa. Yang penting tiba di Ibu Kota. Tak lama kemudian, aku bersama Nami dikirim tiket pesawat oleh Pak Tiyo.

Aku sudah deg-degan. Pikiran kemana-mana.

"Sepertinya aku nggak ada membuat kesalahan apapun waktu KTT itu. Apa kamu ada melanggar aturan waktu itu, Nami?" tanyaku pada Nami.

"Nggak ada, Embun. Aku masih berpikir kenapa kita bisa mendapat masalah seperti ini."

"Iya nih Nami. Nyesal aku ikut acara seperti ini."

Nami terlihat pasrah, "Mungkin sudah nasib kita, Embun. Dijalani saja. Masalah itu harus dihadapi. Bukan dihindari. Ayo berangkat."

Kami pun segera menuju bandara. Kami harus ada pukul 20.30 di Ibu Kota. Tak ada alasan apapun. Pokoknya sampai.

"Brakk.... brakk.... brakk...." taxi yang kami tumpangi menabrak orang.

"Astagfirullah. Kamu nggak apa-apa, Embun?" tanya Nami.

"Nggak apa-apa kok, Nami. Bagaimana perjalanan kita ini?"

Lima belas menit kemudian. Sopir taxi menyuruh kami menumpangi taxi yang lain. Karena dia akan mengantar orang yang ditabraknya.

"Mohon maaf. Saya nggak bisa mengantar kalian ke bandara. Kalian bisa menumpang taxi yang lainnya," sopir taxi merasa bersalah.

Kami pun pindah ke taxi lain. Beberapa jam kemudian. Kami sudah tiba di bandara. Langsung menuju Ibu Kota. Tepat pukul 18.32. Kami sudah ada di Ibu Kota. Tapi belum menuju alamat yang disuruh Pak Tiyo.

Pak Tiyo menghubungiku, "Di mana kalian, Embun? Apa sudah sampai di Ibu Kota?"

"Ada di Ibu Kota, Pak. Ini barusan landing pesawatnya, pak."

"Langsung menuju lokasi. Kalian ditunggu oleh orang-orang di  sini," Pak Tiyo menutup teleponnya.

Aku ketakutan. Tanganku gemetaran. Bahkan suara ketakutanku saat menelepon terdengar jelas. Kami belum mengetahui apa kesalahan yang kami lakukan. Masih penasaran. Karena dipaksa hadir dengan durasi waktu yang singkat.

Sedangkan Nami sudah ikhlas apapun yang akan terjadi. Tapi aku tetap tak terima dengan perlakukan acara KTT itu. Maklum, aku orang yang keras kepala. Bahkan masuk pesantren juga dipaksa. Tak seperti Nami yang penurut. Mengikuti alur dengan tenang. Meskipun ada yang menyalahkan.

Kami tiba di lokasi yang ditunggu-tunggu. Kami berdua langsung masuk ke dalam gedung megah. Sebelumnya kami tak pernah masuk ke dalam gedung mewah itu. Sistem pengamanan gedung itu sangat ketat. Setiap sudut dijaga oleh orang bersenjata lengkap.

Petugas keamanan gedung mondar-mandir. Mereka memeriksa orang yang akan masuk. Bukan hanya sekali diperiksa. Tapi tiga kali pemeriksaan baru bisa sampai ke dalam gedung.

Pergi Yang Dirindukan (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang