9

38 9 0
                                    

WAKTU menunjukkan pukul 11.55 malam. Aku belum juga tidur setelah pulang dari rumah Pak Kiai tadi. Masih memikirkan tentang Hari yang pergi secepat itu.

Nami teman sekamarku juga belum tidur. Masih menemaniku yang sedang di landa kepergian sebelum mendapat kepastian.

Nami mengomel.

"Begitulah manusia. Ketika di sampingnya di sia-siakan. Jika sudah pergi baru memikirkan dengan penuh tangisan dan kesedihan. Tapi sayang, yang demikian itu nggak akan merubah keadaan," ucap Nami kesal.

Nami kemudian mengambil buku dan duduk di sampingku.

Nami punya ide. Dia menyuruhku menyusul Hari sebelum take off dari bandara.

"Embun, Mas Hari besok kan jam sebelas siang berangkatnya ke Spanyol. Jika kamu memang mencintainya, susul dia. Katakan padanya kalau kamu juga mencintainya. Besok pagi setelah salat subuh kamu langsung berangkat."

Aku merespon ide Nami.

"Tapi... "

Nami marah mendengar ucapanku.

"Kamu mencintainya atu tidak? Jika tidak, iya nggak usah disusul. Kalau kamu mencintainya, aku siap menemani kamu menemuinya."

"Sudah. Tak ada tapi-tapian lagi," katanya.

Aku memegang tangan Nami.

"Tapi bagaimana caranya? Rumah Mas Hari kan jauh dari sini. Mana mungkin bisa sampai sebelum jam sebelas siang," aku minta pendapat Nami.

Nami berdiri di depanku, "Kamu langsung menuju bandara. Aku kan nggak menyuruh kamu ke rumahnya. Tapi bandara, pricess."

Perdebatan pun semakin awet.

"Jika memang jodohmu, kamu pasti menemukannya. Rintangan itu akan menjadi pelengkap kesempurnaan cintamu kelak. Percayalah," sebut Nami menyemangatiku.

Kami berdua masih berdebat hingga membunuh malam.

Hingga akhirnya kami tertidur dalam tenggelamnya pembicaraan. Suara azan subuh membangunkan kami kembali.

Nami langsung bangun mendengar azan.

Sementara aku masih tertidur pulas. Mungkin karena terlalu capek mencari Hari hingga menangis tanpa henti.

Nami memakai jaketnya. Lalu dia membangunkan aku.

"Bangun-bangun. Sudah azan, Embun. Nanti kamu telat nyusul Mas Hari."

Aku langsung bangun menuju kamar mandi.

Itu karena takutnya terlambat mengejar Hari ke bandara. Tak perlu dibangunkan beberapa kali. Langsung bangun. Mataku langsung melek. Telingaku langsung sensitif mendengar suara Nami.

Salat subuh pun selesai.

Kami bersiap-siap.

Aku bersama Nami segera berangkat ke bandara. Cincin yang dikasih Hari sudah ku pakai rapi di jari manisku.

Akhirnya kami berdua pergi menuju bandara. Suasana pesantren masih sepi. Semuanya masih mengaji di masjid. Tapi kami sudah melarikan diri menemui sang misteri.

***

DUA jam perjalanan telah kami lewati.

Tiba saatnya kami di stasiun bandara. Kami langsung menuju pintu keberangkatan internasional. Mencari keberadaan Hari. Aku bersama Nami mencari Hari dengan berpencar.

Aku muter-muter. Begitu juga dengan Nami. Keliling.

Beberapa menit kemudian kami bertemu kembali. Kami tidak menemukan keberadaan Hari ataupun salah satu dari keluarganya. Memang jadwal take off masih lama, karena kami datang lebih awal.

Pergi Yang Dirindukan (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang