WAKTU menunjukkan pukul 04.00 pagi. Hari menekan bel dari kamarnya.
Bel itu bertujuan untuk membangunkan seluruh santri di pesantren. Supaya seluruh santri bersiap-siap untuk melaksanakan salat subuh berjamaah.
Para santri sudah bergegas bangun. Ada yang langsung mandi. Ada juga yang hanya sekedar sikat gigi dan cuci muka. Santri yang sudah selesai langsung menuju masjid yang ada pesantren itu. Sebagian santri masih terlihat mengantuk, tetapi berusaha untuk tetap mengikuti kegiatan rutin.
Lima menit setelah azan salat subuh. Tiba-tiba ada santri yang mengaku seorang Imam. Para Jamaah tak ada yang percaya, bahkan sempat ribut dalam masjid itu.
Banyak cerita negatif tentang dirinya yang mengaku seorang Imam. Cerita yang paling diingat oleh orang-orang adalah ketika menjadi tersangka pencurian. Lalu dia mengaku seorang Imam. Tak ada yang percaya. Dan, tak ada yang mau menjadi makmum.
Siapa yang percaya. Tak ada. Karena tak mungkin di percaya begitu saja oleh orang. Akhirnya Hari pun datang. Seorang santri memberanikan diri bertanya kepada Hari. Santri yang lain terlihat diam, tak berani bicara.
"Ustadz, dia mengaku seorang Imam. Apa benar? Tapi kenapa ustadz yang menjadi Imam salat subuh ini?" tanya salah satu santri yang akan salat jamaah.
Hari tak langsung menjawabnya. Dia tersenyum melihat santri yang bertanya. Lalu dia melihat ke arah kanan dan kiri barisan saf salat jamaah. Setelah selesai salat, barulah Hari menjawab pertanyaan santri itu. Tapi Hari mengawali dengan bertanya kembali kepada santri.
"Kenapa kalau ada Imam yang mengaku Imam sebelum salat subuh tadi. Ada masalah dengan itu?" tanya Hari kepada yang bertanya.
Lalu santri itu menjelaskan dengan panjang lebar. Kadang santri yang lain juga membantu untuk menambah penjelasan. Suasana di dalam masjid itu ramai. Namun Hari hanya tersenyum menunggu penjelasan santri-santri selesai. Lalu Hari menjawab dengan santai.
"Iya memang benar dia Imam. Tapi namanya Imam Hidayat. Bukan mau menjadi Imam salat." kata Hari kepada semua santri yang ikut jamaah.
Para santri putri tertawa terbahak-bahak mendengar jawaban Hari.
Sementara yang bertanya terdiam seribu bahasa. Mukanya merah, tak berani melihat Hari. Santri yang bertanya tersebut tak tahu kalau nama santri baru itu Imam Hidayat. Masjid itu dipenuhi suara ketawa dari santri. Pengalaman pertama bagi kami santri baru di pesantren.
Aku bersama Nami duduk bersebelahan di pojok masjid.
Santri pria duduk di depan. Sedangkan santri wanita lainnya duduk berjejer di belakang dengan posisi menghadap mimbar masjid. Tepat mengarah pada tempat duduk Pak Kiai yang saat itu baru datang. Semua mata di masjid itu memandang Pak Kiai.
Kegiatan seperti ini rutin dilaksanakan setiap selesai salat subuh. Santri senior di pesantren itu sudah tahu akan ada kuliah tujuh menit (Kultum). Kadang dipimpin oleh Pak Kiai, ustadz-ustadz, dan juga diwajibkan bagi seluruh santri.
Para santri melakukannya dengan bergiliran setiap pagi. Kali ini yang mengisi kultum adalah Pak Kiai. Hari pertama penyambutan santri baru.
Hari yang duduk di depan. Persis di samping kanan Pak Kiai. Dia sedang mengisi absen sambil mendengarkan ke para santri. Setelah itu, absen disebarkan kepada seluruh santri yang hadir dalam masjid. Karena ini adalah pertemuan pertama, maka setiap santri baru maupun senior wajib memperkenalkan diri dengan membuat nama di kertas absen.
Absen sudah berjalan. Sementara Pak Kiai sedang melanjutkan ceramahnya. Aku lebih akhir mendapatkan giliran mengisi absen. Saat giliranku, aku tak langsung mengisi absen. Tapi melihat satu per satu nama santri yang ada di masjid.
Aku membaca nama-nama absen dari paling atas sampai ke bawah dengan bibir yang bergerak-gerak.
Mulai dari hari, tanggal, bulan dan tahun yang ditulis oleh Hari. Ternyata ada yang aneh menurutku. Hingga akhirnya aku pun dengan spontan tertawa dalam masjid. Sedangkan Pak Kiai sedang ceramah.
Pandangan mata seluruh isi masjid itu tertuju padaku. Ada yang mengira kalau aku sedang kesurupan. Ada juga yang berpikir kalau aku sedang bercanda. Aku tak sadar sudah mengeluarkan suara yang besar.
Ada juga yang mengira kalau aku sedang membuat masalah di pesantren. Supaya dipecat dari pesantren.
Aku memang sudah terkenal walaupun masih satu malam menginap di pesantren. Aku terkenal karena menangis saat orang tuaku pulang. Mereka semua melihat aku sedang menangis saat itu.
Nami bebisik, "Hei... hei... kamu kenapa, Embun? Ada apa?"
Nami mengira aku tak sadar.
Pandangan masih tertuju padaku. Pak Kiai pun menghentikan ceramahnya karena kaget dengan suara ketawa. Santri yang lain sudah mengira kalau aku pasti mendapat sanksi dari Pak Kiai.
Hari juga bingung dengan tingkahku yang tiba-tiba ketawa di saat tak ada yang lucu.
Lalu aku menunjukkan absen itu kepada Nami, "Coba kamu lihat ini, Nami. Lucu sekali."
Aku mengarahkan jari telunjuk pada bagian atas absen yang bertuliskan Hari senin. Lalu aku mengarahkan lagi jari ke nomor 45. Tepat pada nomor tersebut bertuliskan Hari Raya. Nami tak langsung mengerti.
"Apa maksudnya dari Hari Raya itu?" tanya Nami padaku.
Nami, kemudian berpikir mengenai maksud Hari Raya. Tak lama, Nami mengerti dari tulisan di absen. Mereka saling tatap muka. Lalu tertawa terbahak-bahak di dalam masjid yang sedang ada acara penyambutan santri baru.
Suasana masjid pecah saat itu. Pak Kiai pun langsung mengakhiri ceramah dan meninggalkan masjid.
Hari Raya itu ternyata nama Ustadz Hari yang saat itu menjadi asisten Pak Kiai. Kami berdua tak habis pikir ada nama orang ada Hari Raya. Kami berdua menganggap nama itu sakral, aneh, dan lucu. Itulah sebabnya kami tak bisa menahan ketawa saat melihat namanya.
Seluruh santri masih tetap di masjid. Karena akan ada pengumuman dari asisten Pak Kiai setelah rangkaian kegiatan salat subuh. Hari berdiri di depan mimbar, persis di tempat Pak Kiai menyampaikan ceramahnya.
Aku sama Nami sudah mulai takut mendapat hukuman.
Wajah kami pucat. Tak berani bicara. Semua santri juga merasakan hal yang sama. Kami akan mendapat sanksi dari senior atau langsung dari Pak Kiai. Masjid itu hening. Tak ada lagi suara selain suaranya Hari.
Hari menyuruh seluruh santri untuk bersiap-siap mengikuti rangkain kegiatan."Hari ini adalah hari pertama untuk segala proses belajar dan mengajar aktif di pesantren. Semua santri diwajibkan untuk mematuhi segala aturan yang ada di pesantren ini."
Para santri heran tak ada hukuman untuk kami. Kami pun segera berangkat ke kamar untuk bersiap-siap mengikuti sekolah pertama. Begitu juga dengan santri lainnya, sudah berjalan menuju kamarnya masing-masing.
"Alhamdulillah, kita tidak dihukum. Coba kalau dihukum bakal malu sekali kita itu," Nami menyesalkan perbuatan kami.
Please komen dan kasih bintangnya! Terima kasih

KAMU SEDANG MEMBACA
Pergi Yang Dirindukan (REVISI)
Ficção Adolescente《| Amazing cover by: Fauzi Ade Firdaus |》 Siapa yang akan mendapatkan Embun? Hari atau Kelamun. Atau tidak kedua-duanya. Lalu bagaimana nasib Nami yang selalu makan hati ketika melihat Embun bermesraan dengan Hari. Lalu bagaimana dengan cita-cita Em...