4

66 10 1
                                    

PAGI itu, cuaca sangat cerah. Sinar mentari dengan indahnya memancarkan cahaya lewat pepohonan yang rindang dari sebelah timur. Seolah-olah matahari ingin menyapa kebahagiaan kami saat itu.

Meskipun aku belum sepenuhnya ingin mendapatkan pendidikan di pesantren ini. Tetapi Tuhan mengirimkan hadiah bernama Nami untuk sahabatku. Mengisi waktu kekonyolan hingga membuat kegaduhan bersama. Kami saling melengkapi dalam perjuangan ini.

Pagi itu kami berangkat bersama ke sekolah.

Semangat kami sudah terlihat untuk belajar di pesantren. Kami memakai pakaian yang rapi dengan pakaian putih-biru. Menandakan kalau kami sudah resmi menjadi pelajar di sekolah yayasan pesantren.

Kami berjalan dengan pelan. Sesekali membentangkan tangan saat berjalan karena udaranya yang segar. Ditambah lagi sinar matahari pagi yang sangat cerah. Santri yang lain juga terlihat asyik menikmati pagi. Semua berjalan menuju sekolah. Ada yang menuju MTs ada juga yang menuju MA.

Hari juga terlihat berjalan di belakang. Dia juga baru pertama kali mengenakan pakaian putih abu-abu. Aku menoleh ke belakang sambil tersenyum. Saat itu, Hari membalas senyum yang kulempar padanya. Tapi hanya dibalas dengan seadanya. Seolah tak mau membalasnya. 

"Cuek sekali," kataku dalam hati.

Lokasi sekolah dan tempat sekolah Hari bersebelahan. Hanya saja beda pintu gerbang. Aktivitas masing-masing di sekolah bisa diketahui karena dekatnya. Tak terasa, kami pun sampai di depan pintu gerbang sekolah.

"Saya duluan, ya," Hari menuju sekolahnya.

"Iya, silakan, mas."

Aku tak menyangka Hari akan bersikap ramah ketika sampai di sekolah. Tapi kali ini, giliranku untuk bersikap seadanya pada Hari.

Begitu juga dengan Nami yang juga menjawab. Tetapi yang kupikirkan ternyata berbeda. Pasalnya, pamitan Hari apa untuk aku atau untuk Nami. Atau untuk kami berdua. Masih belum tahu. Kami berdua menjawabnya.

Saat aku tersenyum melihatnya dia hanya bersikap biasa. Bahkan cuek sekali. Makanya aku berpikir kalau ramahnya Hari hanya untuk Nami. Perasaan saat itu sudah bercampur-aduk. Aku memandangi Nami yang berada di sampingku. Memastikan apakah Hari pamitan pada dia atau padaku. Atau kami berdua.

Aku ngoceh dalam hati. Perasaan iri juga terlihat di wajahku. Aku terus-terusan bergumam dalam hati.

"Tak mungkin Nami yang disapa Hari. Masak perempuan seperti Nami yang jadi pusat perhatian. Nggak mungkin, kan lebih cantik aku."

Nami menepuk pundakku yang terlihat bengong.

"Hei, pagi-pagi sudah menghayal. Mikirin Hari, ya? Ayo ngaku! Memang sih, Mas Hari itu ganteng," Nami menggoda.

Aku tak mau mengakuinya. Bermacam alasan yang aku ucapkan pada Nami. Tapi wajahku terlihat kaku kalau aku sedang berbohong.

"Ihh... siapa yang mikirin Hari. Nggak mungkinlah tiba-tiba mikirin dia," jawabku mengeles.

Kami berdua juga sudah sampai di sekolah. Siap-siap mengikuti pelajaran. Guru dan staf sekolah sudah mulai berdatangan. Ada yang sibuk menyiapkan pengeras suara. Ada juga yang terlihat menyiapkan perlengkapan kelas yang dibutuhkan.

Alangkah kagetnya aku saat mengikuti pelajaran pertama di sekolah. Aku tak menyangka kehidupan sekolah berbasis Islam juga memiliki guru lulusan Jepang. Menurutku hanya sekolah umum saja yang ada guru lulusan luar negeri.

Guru itu mengajar Bahasa Jepang. Dia menceritakan tentang pengalamannya selama berada di Jepang saat kuliah. Mulai dari pengalaman belajar, berwisata, hingga menemukan seorang istri dari Jepang. Dia biasa dipanggil Pak Tiyo. Nama lengkapnya Hendrawan Sulastiyo.

Dalam hatiku berkata, "Pak Tiyo berarti sudah tahu tentang sakura. Tentang sesuatu yang ingin aku saksikan. Waktu aku duduk di bangku SD, memang hanya sakura yang ingin aku dapatkan dari Jepang. Tapi setelah masuk di sekolah yang saat ini aku jalani. Aku tak hanya ingin mendapatkan itu. Tapi ingin mendapatkan gelar sarjana dari perguruan tinggi di Jepang. Aku ingin mendapatkan pendidikan yang lebih baik."

Aku mau ingin bertanya tentang sakura pada guru. Tapi dalam hati terasa malu, tak tahu kenapa. Waktu pun keburu habis. Pertanyaan itu tetap tersimpan dalam benakku.

Perasaan penasaran terus menghantui. Keinginan untuk pergi ke Jepang tak pernah mati. Selalu mengalir dalam jiwa, seakan ada api yang selalu membakar semangat itu. Bahkan aku pernah mengatakan bahwa aku harus ke Jepang suatu saat nanti. Bagaimanapun caranya aku akan berusaha untuk bisa pergi ke Jepang.

Waktu sudah menunjukkan pukul 02.00 siang. Seluruh santri bersiap kembali ke pondok untuk istirahat dan melanjutkan kegiatan rutin. Aku juga bergegas mengambil tas.

Sementara Nami masih mencatat pelajaran yang ada di papan tulis. Dia terlambat mencatat. Tetapi aku tetap menunggunya hingga selesai.

Aku pun pulang bersamanya melewati jalan tadi pagi. Tentu melewati sekolahnya Hari. Kami ngobrol apa saja tentang sekolah, tentang Hari, juga tentang pelajaran yang barusan selesai kami jalani.

Tak terasa, kami pun sampai di pesantren. Tak jelas, apa yang mesti menjadi kesimpulan pembicaraan kami. Yang jelas kami senang melakukannya.

Sambil bernyanyi, Nami meletakkan tas miliknya di atas meja belajar. Muka capek masih tersisa. Wajah kami kemerah-merahan. Keringat juga masih menyelimuti badan. Sedangkan aku langsung merebahkan diri ke kasur.

Aku mengawali obrolan dengan Nami, "Ngomong-ngomong,  guru kita tadi hebat ya, Nami."

Nami merespon cuek, "Kenapa memang? Perasaan biasa aja, deh."

Menurut Nami guru bahasa Jepang biasa saja. Tapi menurutku guru lulusan dari Jepang itu tak biasa. Atau mungkin hanya bagiku saja yang menyebutnya hebat. Sedangkan Nami menganggapnya biasa saja. Atau Nami sudah sering diajar oleh guru lulusan Jepang.

"Iya. Akhirnya bisa diajari oleh guru lulusan Jepang. Meskipun bukan orang Jepang asli," aku menyambung obrolan.

"Oh begitu, nggak banyak sih guru lulusan Jepang," Nami sibuk merapikan buku-bukunya di atas meja belajar.

Perbincangan kami terus berlanjut hingga sore. Banyak yang kami bicarakan tentang Jepang, juga tentang guru yang pernah mengajar kami di masing-masing sekolah dulu. Aku juga menceritakan keinginanku kepada Nami untuk melanjutkan studi di Jepang.

"Aku ingin sekali bisa pergi ke Jepang. Syukur-syukur bisa melanjutkan kuliah di sana," kataku melanjutkan cerita.

Nami tersenyum mendengar ceritaku. Begitu juga dengan Nami yang menginginkan pendidikan ke Eropa. Katanya, sudah sejak TK dia ingin kesana, terutama keinginan orang tuanya. Karena bapaknya pernah kuliah di Eropa.

Aku menyemangati Nami, "Kita sebenarnya sama, Nami. Sama-sama ingin memperjuangkan keinginan orang tua kita."

"Tidak begitu, Embun."

"Lalu?" tanyaku kembali.

Aku penasaran Nami tak sepakat dengan kataku. Nami melanjutkan penjelasannya.

"Selagi itu baik untuk masa depan kita. Maka nggak ada salahnya kita mengikuti keinginan orang tua kita. Lama-lama kita juga akan menyukai."

Ikuti terus updatenya!

Jangan lupa komen dan kasih bintangnya! Terima kasih

Pergi Yang Dirindukan (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang