20

31 7 0
                                    

JAPAN menjadi tempat tinggal kedua bagiku dan Hari. Setiap hari aku bersamanya. Tak pernah terpisahkan. Hanya sekali dua kali saja kami harus berpisah karena Hari pergi bertugas.

Kondisi seperti itu tak membuat aku kecewa. Karena Hari harus bertugas sesuai dengan tugasnya. Dengan seiring berjalannya waktu hari terus berganti. Tapi Kelamun belum juga menjemputku. Atau pun mencariku.

Dia yang membawaku ke Jepang. Belum ada kabar sama sekali. Mungkin orangtuanya sudah melarang Kelamun mencariku.

Hingga Kelamun memutuskan untuk tidak mencari keberadaanku. Aku sudah pergi sejak dua minggu lalu. Belum pernah kembali ke apartemen milik orangtua Kelamun.

Aku berpikir kalau Kelamun ikut dalam skenario ini. Dia ingin menjualku. Kerja sama dengan keluarganya. Aku menjadi tumbal bisnis manusia mereka.

Memang penjualan manusia saat ini sangat luar biasa di dunia. Sasaran utamanya adalah perempuan dan anak. Karena perempuan adalah mangsanya lelaki yang berhidung belang.

Kehidupan Hari tak seperti biasanya sejak bersamaku. Pasalnya, sejak berada di bangku SMA belum pernah bersamaku selama itu. Hanya hitungan menit ketika bertemu. Tapi kini bermingu-minggu bersamanya.

Bahkan setiap Hari ada aku ada di sampingnya. Perasaan senang pasti menghiasi. Tetapi senang bukan dalam rencana. Hanya karena kebetulan. Hari merasa bersalah. Begitu juga dengan aku. Karena harus tinggal dalam satu apartemen berdua. Sedangkan kami belum menikah.

Tapi Hari tetap menjagaku. Dia memberi kamar kusus untukku. Namun begitu, Hari tetap menjagaku layaknya menjaga dirinya sendiri. Tak pernah sekamar meskipun sedang membicarakan hal-hal penting. Selalu menjaga diri. Terlebih lagi dirinya petugas urusan moral.

Sudah berjalan sebulan kami bersama di Jepang. Namun belum ada tanda-tanda Kelamun untuk mencariku. Hingga suatu hari, Hari mencoba membuka percakapan denganku tentang Kelamun.

Malam itu kami keluar apartemen sambil menikmati teh racikan Jepang. Suasana memang sepi, namun hamburan bintang di langit menghiasi perbincangan kami. Galaxy bimasakti menjadi saksi nyata dalam indahnya malam kami.

"Embun?"

"Iya mas, ada apa?" sambil menoleh ke arah Hari yang sedang berdiri di samping pagar besi outdoor apartemen. Lalu aku mendekat dan duduk bersama Hari di outdoor.

"Ada apa, mas?"

Meskipun aku sudah direspon serius. Tapi Hari masih ragu untuk mengungkapkan kekhawatirannya. Hari takut dijebak Kelamun sebagai pelaku penculikan.

Karena semua identitas milikku masih ada pada Kelamun. Jika Kelamun ingin menjebak Hari tentu sangat mudah. Dia akan menuduh bahwa Hari telah melakukan penculikan.

Sedangkan Hari tak punya bukti jika harus berhadapan dengan pengadilan. Dia sadar jika hal itu mungkin saja terjadi dalam dunia kejahatan. Tapi bibirnya yang tak mampu untuk berterus terang kepadaku. Hari takut aku kecewa dengan pernyataannya. Dia takut aku salah paham. Dia takut aku merasa diusir dari apartemen.

Aku memaksa Hari bicara, "Ngomong aja, mas. Aku nggak akan marah apa pun yang akan kamu katakan."

Hari tak berani menatap mataku. Dia mengucapkan dengan suara ragu, "Sebenarnya aku nggak enak mengatakan ini padamu Embun. Tapi aku khawatir kita akan menjadi fitnah disini."

Spontan aku menjawab, "Fitnah. Fitnah apa, mas Hari? Aku nggak pernah sekamar sama kamu. Memang kita belum ada ikatan yang sah. Orang buat fitnah seperti apa, mas? Jika ingin menyuruhku pergi bilang langsung saja."

Keraguan Hari untuk bicara masalah Kelamun ternyata benar. Aku tersinggung. Aku langsung menangis saat Hari membuka pembicaraan. Hari tetap bicara. Dia tak peduli aku menangis karena itu.

Dengan suara lembut Hari menjelaskan, "Embun yang cantik. Yang pipinya sering dicubit. Dengarin aku ngomong dulu. Sebentar aja. Nanti lanjut lagi nangisnya. Kan aku belum selesai ngomong tadi. Kamu malah boro-boro nangis."

Cubitan pipiku menjadi awal perkenalan kami dulu. Hingga sekarang pipiku menjadi bahan cubitan Hari. Melihat suasana sudah mulai normal. Akhirnya Hari menlanjutkan bicaranya. Aku yang sudah tersenyum mulai mendengarkan bicara Hari.

"Aku khawatir kita menjadi fitnah lantaran semua identitasmu ada di Kelamun. Jika mereka berpikir jahat sama aku dan kamu, maka dengan mudah mereka memutarbalikkan fakta. Aku dituduh sebagai penculik (traficking) di Jepang ini."

Aku diam mendengar penjelasan Hari. Tak ada komentar apapun dengan pernyataannya.

"Apa yang mesti kita lakukan, Embun?"

Aku menghela nafas panjang. Bingung mau menjawab apa. Aku juga menyeduh teh racikan Jepang yang ada di meja outdoor apartemen. Aku tak bisa memberi komentar apa-apa. Seolah-olah pikiranku sudah berhenti untuk menghadapi masalah itu.

Merasa bersalah kepada Hari karena sudah merepotkan keberadaannya di Jepang. Seharusnya Hari memang bukan untuk mengurusi aku. Tapi untuk bertugas dalam menegakkan adab manusia di negeri Jepang.

Aku belum menjawab pertanyaan Hari. Kami masih menikmati minuman dengan santai. Tibalah Kelamun dengan rombongannya. Aku langsung berdiri dengan spontan dan berkata dengan suara tinggi.

"Kelamun! Kenapa kamu ada di sini? Mau ngapain kamu?"

Hari bingung. Dia masih duduk santai sambil menyeduh minuman. Hari memang belum mengenal wajah Kelamun sebelumnya. Dia hanya tahu namanya karena sering disebut-sebut orang. Itulah sebabnya dia tak terlalu panik dengan kedatangannya.

Setelah aku menyebut nama Kelamun, baru Hari sadar kalau itu orang yang sedang kami bahas.

Kelamun mendekati aku, "Embun aku minta maaf atas perlakuan orang tuaku. Aku nggak nyangka orang tuaku melakukan hal seburuk itu padamu."

Aku sangat marah, "Sekarang kamu pergi dari sni. Jangan mengganggu hidupku lagi."

Kelamun menjelaskan dengan tenang kepadaku, "Embun, demi Tuhan aku nggak tahu kamu mau dijual sama orang tuaku. Mungkin itulah sebabnya aku nggak diizinkan ikut bersama kalian waktu itu. Sekarang kedua orang tuaku sudah ditangkap polisi. Sejak itulah aku tahu kalau kamu mau akan dijual."

Hari tidak langsung masuk ke pembicaraan kami. Dia mengamati perkataan demi perkataan Kelamun bersama aku. Hari berusaha mencari tahu siapa sebenarnya dalang penjualan manusia ini.

Tak lama kemudian Kelamun semakin mendekat sambil minta maaf kepadaku. Lalu Kelamun memegang tanganku. Dengan perasaan cemburu dan marah. Hari langsung berdiri dan melepaskan tangan Kelamun dari tanganku. Dia melepaskan dengan kasar sambil.

"Jangan sembarangan menyentuh tangan Embun. Are you understand?" Hari melepaskan tangan Kelamun dari tanganku.

Kelamun tak terima dengan perlakuan Hari. Kelamun marah kepada Hari. Sedangkan Kelamun juga belum mengenal Hari.

"Kamu siapa? Jangan ikut campur dalam urusanku," Kelamun menunjuk muka Hari.

Dengan santai Hari menjawab, "Aku calon suaminya, Embun. Jadi jangan coba-coba untuk memegang tangannya. Apalagi sampai membuatnya terhina seperti yang dilakukan oleh orang tuamu."

"Jadi kamu yang namanya Hari," Kelamun menatap Hari dengan serius.

Pasukan Hari juga sudah berkumpul disana. Begitu juga dengan pasukan yang dibawa Kelamun sudah siap siaga. Kelamun langsung mendekat ke arah Hari. Tanpa bertanya lagi dia langsung memukul Hari. Hingga perkelahian pun pecah di apartemen itu.

Pasukan moralitas tak mampu melawan kelompok Kelamun. Pasukan Hari kalah dalam perkelahian itu. Hari terluka di punggungnya akibat tusukan sangkur Kelamun. Hingga dia tak mampu untuk melawan. Darah mengalir terus menerus dari luka tusukan Kelamun di punggung Hari.

Teman-temannya langsung melarikan Hari ke rumah sakit. Luka yang dialaminya sudah tak bisa ditangani. Harus mendapatkan perawatan intensif dari dokter. Sementara Kelamun langsung melarikan diri dari lokasi bersama pasukannya.

Dia membiarkan kelompok Hari tergeletak setelah kalah diserangnya. Aku langsung dibawa pergi sama Kelamun. Kelompok Hari tak sanggup untuk menghalangi. Aku pun hilang dari genggaman mereka.

Pergi Yang Dirindukan (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang