16

29 6 0
                                    

NAMI tinggal beberapa hari akan pulang liburan. Dia sudah lima hari mengelilingi Spanyol.

Nami belum tahu kalau aku gagal liburan ke Jepang. Aku sengaja tak memberitahu dia. Sedangkan Nami sudah bertemu dengan Hari di sana. Nami ditemui Hari di Cordoba. Tempat yang menjadi sejarah peradaban Islam di Eropa.

Hari menceritakan tentang Cordoba. Dia menjadi tour guide Nami selama di Spanyol.

Tentu ini kesempatan langka untuk Nami. Karena selama di Indonesia Nami tak pernah cerita lepas dengan Hari. Maklum, Nami menghargai perasaanku. Nami tak berniat untuk menemui Hari di Spanyol. Tapi karena aku yang menyuruhnya, Nami mau menemui Hari.

Perasaan bahagia Nami menghiasi wajah imutnya. Tertawa lepas tanpa ada tekanan. Tak ada yang ditakutkan. Termasuk aku. Nami membandingkan cintanya dengan cintaku.

Nami mulai berpikir tak ada salahnya jika dia mencintai Hari. Nami berharap ada keajaiban di Cordoba.

Hati itu milik bersama. Hanya cara memperlakukan cinta yang membedakan. Hati boleh berhalusinasi untuk memiliki. Tapi tidak untuk menyakiti.

Nami selalu menghayal sejak di Cordoba. Dia merasa ada sesuatu dirasakan Hari. Tak bisa diucapkan dengan kata-kata. Namun bisa dibuktikan dengan perbuatan.

Fatamorgana cinta seolah menjadi penyinar. Manik-manik dinding menjadi saksi dalam kebisuan cinta Nami pada Hari.

Dalam menjaga kesucian cinta. Sebaiknya jangan mengumbar. Lebih baik bisu dalam perbuatan. Tapi cerewet dalam mendoakan di kala senyapnya malam.

Hari menyuruh Nami melihat ornamen kubah, "Nami, coba kamu lihat ornamen-ornamen dalam lingkaran kubah itu. Pastikan kamu mengamatinya dengan baik. Ikuti alunan ornamennya yang mengelilingi kubah."

Nami menuruti Hari, "Nggak ada apa-apa. Biasa aja. Mungkin yang kamu maksud ornamennya sangat indah, bukan?"

Nami tak henti melihat langit-langit kubah. Dia merasa tak ada yang aneh. Tapi kenapa Hari menyuruhnya untuk melihat sebaik mungkin. Apa yang dimaksud Hari dalam ornamen kubah? Dia bingung sampai berputar-putar melihatnya.

Nami tak menemukan apa-apa dalam ornamen kubah.

"Aku nggak ngerti apa yang menjadi daya tarik ornamen kubah ini?" Nami tak menemukan apa-apa.

Hari mendekati Nami sambil menunjuk ke arah ornamen, "Nami, ornamen dalam lingkaran langit-langit kubah itu yang melingkar seperti berjalan. Itu menunjukkan bahwa cinta manusia juga berjalan sesuai dengan masanya. Ada kalanya lelah, letih, lemas, dan tak bergairah. Itu adalah bukti nyata dalam ujian cinta. Jika tak mampu bertahan. Maka akan bubar dan tak bisa fokus. Hanya sabar yang mampu memadamkan api yang sedang membakar dalam hati."

"Maksudnya? Aku nggak ngerti apa maksud kamu," Nami menggeleng kepalanya.

Muka Nami berubah mendengar ucapan Hari. Tak tahu apa yang dimaksud Hari. Terkadang terbesit dalam pikiran Nami, kalau Hari sedang memancingnya untuk berterus terang dalam perasaan.

Nami berpikir Hari sudah tahu tentang aku yang dekat dengan laki-laki lain. Pikiran seperti itu bermunculan dalam pikiran Nami.

"Saat aku ke Indonesia pada acara KTT. Aku melihat ada pesan singkat Embun dengan seorang lelaki. Tapi aku nggak tahu dan nggak mau tahu siapa lelaki itu. Karena aku paham itu bukan salah laki-laki itu. Bukan juga salah Embun. Tapi salah waktu yang terlalu lama memisahkan," Hari mengatakan terus terang.

Nami membungkukkan kepala. Dia seolah-olah yang paling bersalah. Karena tidak memberitahu Hari jika aku aku didekati lelaki lain. Posisinya serba salah.

Jika Nami memberitahu pada Hari. Maka dia akan di cap sebagai intelijen hubungan orang lain. Namun jika dia tidak memberitahu, Nami merasa berdosa pada Hari. Karena dia juga mencintai Hari.

Mereka berdua terus berjalan sambil melihat pemandangan. Pengunjung yang ramai dan ribut membuat mereka semakin kesulitan untuk bicara serius. Mereka mencari tempat yang nyaman. Tempat duduk di pinggir jalan dipenuhi oleh turis. Mereka kesulitan mencarinya.

"Excuise me. May i sit here?" Hari menanyakan pada turis yang sedang duduk itu.

"Yes, of course."

Hari mengatakan ada orang lain yang menyukainya.

"Tapi itu nggak menjadi masalah besar. Aku juga sudah tahu orang yang benar-benar mencintaiku. Bu Nyai sudah pernah bilang siapa orangnya."

Wajah Nami mendadak merah. Nami kesipu malu dengan pernyataan Hari. Karena beberapa bulan yang lalu dia pernah bercerita kepada Bu Nyai tentang Hari. Nami menceritakan semuanya kepada Bu Nyai.

Nami mulai curiga. Kalau orang yang dimaksud Hari adalah dirinya. Karena dia yang pernah bercerita pada Bu Nyai.  Nami menyindir Hari dari penungguan panjangnya.

"Cinta itu memang tak pernah mengenal waktu. Tak pernah juga kadaluwarsa. Hanya kesabaran jiwa yang dibutuhkan. Jika memang berjodoh, maka tak ada kata mustahil. Asam di gunung garam di laut saja akan bertemu di kuali."

Nami berharap ada sebuah keajaiban di Cordoba. Nami tak membahas tentangku. Apalagi membahas mengenai laki-laki yang mulai mendekatiku. Dia memang tak mau menceritakan orang lain hanya untuk mencari simpati.

Nami tak tega untuk menghianati aku. Atau mengambil Hari dari aku. Tapi kondisi seperti itu membuat peluang Nami semakin besar untuk mendapatkan Hari. Aku sudah di dekati dengan orang lain. Tapi hatiku belum sepenuhnya berpaling dari Hari. Aku masih mencintainya. Masih merindukannya.



Komen dan vote yang kamu berikan sangat berarti untuk tulisan ini. Terima kasih

Pergi Yang Dirindukan (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang