5

53 10 2
                                    

PAGI kembali menyambut. Rutinitas sebagai santri terus berjalan. Hari telah menekan bel dari kamarnya untuk membangunkan seluruh santri.

Sedangkan aku masih berbaring di tempat tidur. Tak ada tanda-tanda untuk bangun dan salat berjamaah.

Seluruh santri sudah bersiap-siap menuju kamar mandi untuk mengikuti kegiatan rutin. Meskipun sebenarnya masih mengantuk pada setiap santri. Tetapi rutinitas pesantren tak bisa ditinggalkan. Harus mengikuti jika tidak mau mendapat sanksi.

Nami sudah mengantre lebih awal untuk mendapatkan giliran mandi. Antrean masih panjang di depannya. Sedangkan aku masih berbaring di tempat tidur.

Aku tidak dibangunkan oleh Nami setelah bel berbunyi. Atau aku tidak mengingatnya. Aku juga belum tahu kejadian itu.

Hari saat itu sudah mulai disiplin mengawasi seluruh kegiatan santri. Dia sudah berada di masjid. Dia mengecek santri yang tidak mengikuti kegiatan rutin, seperti salat subuh, kultum, pengajian, hingga kegiatan belajar mandiri. Buku absen yang ada di tangannya mulai dicek satu per satu.

Santri sudah mulai berdatangan ke masjid. Nami juga sudah selesai mandi dan langsung kembali ke kamar. Tak disangka, aku masih tidur berbaring di sleeping beg.

Sedangkan waktu salat subuh sudah segera tiba. Bacaan surat al-quran sudah terdengar dengan jelas dari pengeras suara masjid. Biasanya, bacaan surat itu menandakan kalau azan subuh segera dikumandangkan.

Aku dimembangunkan sama Nami. Tapi tak ada jawaban dariku. Aku tidak merespon. Apalagi sampai bangun.

"Embun, bangun-bangun. Sudah mau salat subuh ini. Ustadz Hari sudah menunggu kita di masjid. Ayo buruan!"

Nami berusaha membangunkan.

Tetapi tetap saja gagal. Tidak ada jawaban sama sekali dariku. Nami akhirnya curiga kalau aku sedang sakit. Karena aku tidak biasa seperti itu. Suara keras Nami tak membuatku terbangun dari tempat tidur.

Nami mendekat ke arahku yang sedang tidur telentang memakai selimut warna biru.

Tetap tak ada jawaban. Dia sudah berusaha membangunkan aku dengan segala macam caranya.

"Terserah kamu, Embun. Nanti kalau sudah dapat hukuman baru tahu kamu."

Nami memakai perlengkapan salatnya. Tapi aku tak kunjung bangun.

Usaha Nami sungguh besar untuk membangunkan. Tetapi usahanya gagal. Karena aku sedang sakit saat itu. Jadi aku tak tahu mengenai apa yang dilakukan Nami padaku.

Nami mendekat lagi setelah selesai memakai perlengkapan salatnya. Nami menarik selimutku. Setelah itu, Nami memegang kepalaku. Saat itulah Nami tahu kalau aku sedang sakit.

"Ayo bangun, Embun. Nanti Ustadz Hari marah loh," katanya sambil memegang kepalaku.

Nami kaget, "Atagfirullah. Panas sekali badanmu, Embun. Kamu sakit ya, Embun?"

Ternyata kecurigaan Nami benar. Aku tak pernah membuat alasan seperti itu ketika tak bisa salat. Biasanya, aku lebih dulu bangun pagi di banding Nami. Ternyata dia menemukan aku sedang sakit. Panas yang menyerang tubuhku tinggi sekali.

Kejadian itu diketahui Nami setelah menarik selimutku dan memegang kepala dan badanku. Jika tak ada Nami, mungkin nasibku sudah tak diketahui.

Nami tak tahu apa yang harus dilakukannya. Aku yang saat itu sudah tak sadar. Kondisi itu membuatnya semakin panik. Nami tidak segera melapor kejadian itu kepada pengurus pesantren. Kebetulan pada saat itu, azan salat subuh sedang berkumandang.

Nami berusaha menurunkan panas di tubuhku. Dia mengompres kepalaku dengan kain seadanya. Aku belum juga terlihat sadar. Setelah menunggu. Akhirnya salat subuh selesai.

Pergi Yang Dirindukan (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang