7

34 7 0
                                    

NAMI diam. Akhir-akhir ini Nami seperti tak biasanya. Kadang sering menyendiri sejak aku mendapat surat dari Hari. Jarang tidur, hingga begadang tak menentu. Tugas pesantren dan sekolahnya berceceran. Tak ada yang diselesaikan olehnya. Kejadian itu terus berlanjut sampai dua minggu lamanya.

Aku menanyakan keadaan Nami yang sebenarnya.

"Kamu kenapa, Nam? Kok akhir-akhir ini kamu sangat berbeda dari Nami yang aku kenal. Nggak ceria lagi. Kamu kenapa?"

"Nggak ada masalah apa-apa kok. Ini ceria, coba lihat!" Nami memegang pipinya sambil menariknya biar terlihat senyum.

Aku tahu kalau Nami sedang dalam masalah. Terlihat jelas di wajahnya yang manis itu mulai kusut. Tapi dia tetap berusaha tersenyum di depanku. Selalu menyimpan kesedihan. Bahkan ditanya saja dia selalu mengeles. Seolah-olah tak ada masalah dengan dirinya. Tetap tegar.

Aku tak bisa menebak apa sebenarnya yang terjadi padanya. Setiap hari aku berusaha mencari sumber masalah Nami. Kadang aku memancingnya untuk cerita padaku. Tapi Nami sangat tertutup dengan masalahnya kali ini.

Kadang aku mengajak bercanda biar dia lupa sama masalahnya. Tak pernah berhasil. Nami sangat hebat menyimpan rahasia hatinya. Bahkan orang terdekat pun tidak tahu apa masalahnya.

Nami sering diam sejak aku menerima surat dari Hari. Sebelumnya, Nami selalu meminta untuk menjadikan tempat ceritanya. Setiap malam. Setiap hari. Bahkan hampir setiap saat Nami mengajak ngobrol panjang lebar. Karena dia seorang anak yang bijak.

Topik tak penting pun menjadi penting karenanya. Di kamar tidur selalu Hari yang menjadi topik pembicaraan kami berdua.

Waktu itu, hanya berselang sehari. Aku memberitahu Nami tentang isi surat dari Hari. Tapi tak ada masalah. Nami biasa saja. Meskipun sebenarnya dia menyukai Hari. Bahkan Nami menyuruh untuk segera membalas isi suratnya Hari. Aku tambah bingung tentang Nami.

"Aku juga menyukai Mas Hari, Embun. Tapi... kamu lah yang paling pantas bersamanya. Bukan aku," kata Nami memberitahu.

Nami selalu menyembuyikan kesedihan kepadaku. Meskipun tingkah dan wajahnya tak bisa membohongi. Bagiku, Nami adalah wanita terhebat dan terkuat dalam menghadapi masalah. Tak pernah menyerah. Apalagi menunjukkan kesedihan kepada orang lain.

Aku diam mendengar cerita Nami. Hanya menunduk dan tak berani menatapnya. Aku juga mengaku salah karena telah jatuh cinta pada orang yang sama. Bukan orang lain. Tapi malah bersaing dengan sahabat sendiri.

"Embun. Jangan merasa bersalah gitu dong?" Nami memegang tanganku.

Nami mendekati. Dia senyum melihat aku yang salah tingkah. Seolah-olah dia tak terpukul dengan perbuatanku.

Nami langsung memeluk. Kemudian, dia membujuk untuk memperjuangkan cintaku kepada Hari.

"Suatu saat nanti, kamu lah yang akan memiliki Mas Hari. Bukan aku, Embun. Aku hanya menganggapnya sebagai kekasih dari seorang sahabatku. Kejar dan perjuangkan cintamu," Nami menyemangati.

Semakin tak bisa aku berkata. Tak tahu harus menjawab seperti apa kata-kata Nami. Aku memeluknya erat sambil menangis.

"Kamu kenapa? Kok tiba-tiba menangis. Ada apa? Aku ini sahabatmu, bukan temanmu, Embun. Bilang aja apa yang ingin kamu lakukan. Tapi satu yang aku nggak mau dari kamu. Jangan berhenti mencintai Mas Hari gara-gara aku?" Nami terus saja ngomong.

"Jatuh cinta itu biasa. Yang nggak biasa itu menjatuhkan cinta tanpa kepastian," Nami menasehati.

Aku hanya menjadi pendengar setia. Begitu juga dengan pelukanku. Tak kulepaskan darinya. Hanya dia yang melepaskan pelukan dengan perlahan.

Dia memegang bahuku dan menatapku, "Cinta itu menyatukan. Bukan menghancurkan. Apalagi sampai memisahkan."

"Kenapa kamu begitu rela menghancurkan hatimu, Nami? Bukankah kamu juga mencintai Hari," tanyaku.

Belum dijawabnya. Aku langsung bertanya lagi, "Bukankah cintamu lebih besar dariku?"

Nami tersimpan partikel yang berperang di dalam hatinya. Sejak itu, Nami sudah kembali seperti biasa. Dia sudah rajin belajar dan mengikuti kegiatan pesantren.

Nami selalu menyarankan segera membalas surat Hari. Karena sudah sebulan berlalu. Tetapi aku belum memberikan jawaban apapun terhadap isi suratnya.

"Sebaiknya kamu balas segera surat Mas Hari, Embun. Kasihan dia terlalu lama menunggu balasan darimu," Nami menyuruh.

Aku memang selalu memikirkan tentang balasan surat itu. Tapi aku tak tahu mau membalas isi suratnya seperti apa. Aku malu dengan tulisan di buku catatan. Kadang timbul rasa menyesal. Tapi karena telah diselimuti rasa cinta, semua penyesalan itu menjadi peluang.

Hari memang meminta segera membalas suaratnya. Aku mencoba mulai menulisnya. Tapi hilang ingatanku ketika memegang pena. Apa yang akan ku tuliskan untuk menjawabnya.

Kejadian itu berulang-ulang terjadi. Hingga akhirnya Nami mendatangi yang sedang memegang kertas dan pena.

"Apa yang kamu pikirkan? Tulislah yang bagus. Biar Mas Hari nggak kecewa dengan penantian balasan surat darimu," Nami sembari tersenyum padaku.

"Terima kasih, Nami," menyubit pipinya.

Aku mulai menulisnya dengan bahagia. Kata demi kata terus ku rangkai untuk menjelaskan tulisan yang ada di buku catatan. Dalam balasan suratku, aku mengaku pada Hari kalau aku menyukainya.

Aku tak minta dibalas lagi suratku. Tapi tidak dengan cintaku. Hanya menjelaskan dengan jujur kenapa aku menulis namanya dalam catatanku. Itu lebih dari cukup untuk membalas suratnya. Meskipun jawaban itu mungkin bukan yang di harapkan Hari. Tapi hanya itu kuasa ku sebagai perempuan. Aku menyadari kodratku untuk dipilih. Bukan memilih.

Perasaan malu tentu membakar jiwaku. Balasan suratnya telah ku selesaikan. Semua harapan, hanya kulampiaskan dengan doa. Berharap rasa malu itu menjadi rasa manis di kemudian hari.

Aku sadar. Hari belum tentu menyukaiku. Apalagi sampai mencintaiku. Apalagi sampai mengajakku untuk berpacaran. Bukan seperti itu yang aku tafsirkan dalam suratnya. Itulah sebabnya, aku tak meminta sesuatu yang lebih kepadanya.

Sebenarnya, itulah pertimbangan berat untuk menuliskan balasan surat itu. Takut menjadi bumerang dan menjadi bahan ejekan jika diketahui oleh orang lain. Kini balasan suratnya telah kusampaikan.


Komen dan vote, ya, guys!

Pergi Yang Dirindukan (REVISI)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang